PPL sebagai Sarana Pengembangan Diri bagi Calon Pendidik: Pembelajaran dan Refleksi
"Menjadi guru tidak hanya soal transfer ilmu, tetapi juga soal bagaimana kita bisa menjadi teman dan pembimbing bagi siswa"
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Lhokseumawe sejak 10 Agustus hingga 19 Oktober 2024 merupakan kesempatan emas bagi mahasiswa calon pendidik untuk merasakan dunia pendidikan yang sesungguhnya. Bukan sekadar tugas mengajar, PPL menjadi sarana pengembangan
diri yang tak ternilai, mengasah kemampuan pedagogis, pengelolaan kelas, dan
memperkuat karakter sebagai pendidik yang efektif. Bagi mahasiswa, terutama
yang menekuni ilmu pendidikan, pengalaman ini merupakan salah satu bagian
penting dari perjalanan akademik yang akan membentuk mereka menjadi guru yang
profesional dan siap menghadapi tantangan di masa depan.
Senin, 12 Agustus, saya, Tazkiatul 'Ulya
dari Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), bersama Ulfi Amalia dari
Program Studi Tadris Bahasa Inggris memulai perjalanan PPL kami di salah satu
SMA Negeri di wilayah Kota Lhokseumawe. Sekolah tersebut meninggalkan kesan
pertama yang begitu asri dan menenangkan. Lingkungannya yang luas dan hijau
membawa suasana belajar yang nyaman. Kami diperkenalkan kepada guru pamong yang
akan menjadi pembimbing selama masa PPL, dan selanjutnya kami melakukan observasi
awal terhadap kondisi sekolah dan para siswanya.
Selama minggu pertama, kami lebih banyak mengamati
aktivitas sekolah. Setiap pagi, kami bertugas di meja piket untuk memastikan
siswa tetap berada di lingkungan sekolah dan tidak keluar tanpa izin. Tidak
banyak interaksi dengan siswa di minggu pertama, namun pengamatan ini memberi
kami wawasan penting tentang dinamika kelas dan karakter siswa yang akan kami
hadapi.
Memasuki minggu kedua, saya mulai diberikan kesempatan
untuk mengajar di beberapa kelas. Perasaan campur aduk antara antusiasme dan
gugup terasa saat kami berdiri di depan kelas. Pada pertemuan pertama dengan
siswa, saya sedikit terkejut melihat kurangnya perhatian mereka. Ternyata,
menarik perhatian siswa tidak semudah yang dibayangkan. Saya mencoba menerapkan
berbagai metode pengajaran seperti ceramah, diskusi, tanya jawab, hingga
demonstrasi, dan proyek kelompok. Namun, siswa tampak lebih nyaman dengan metode
ceramah dan tanya jawab, yang sering digunakan oleh guru mereka sehari-hari.
Tantangan terbesar yang dihadapi adalah menurunnya
minat belajar siswa, terutama di era digital saat ini. Siswa lebih fokus pada
gawai mereka daripada materi pelajaran. Selain itu, tuntutan pendidikan semakin
tinggi, sementara motivasi belajar siswa semakin menurun. Saya mencoba berbagai
cara untuk memotivasi mereka, namun tidak selalu berhasil. Meski begitu, saya tidak menyerah. Pengalaman ini mengajarkan saya pentingnya fleksibilitas dan
kesabaran sebagai pendidik.
Salah satu hal yang menyentuh adalah perubahan
perilaku siswa terhadap guru. Di era sekarang, sikap hormat kepada pendidik
semakin menurun. Tidak jarang saya merasa berbicara di depan kelas tanpa
mendapatkan perhatian penuh dari siswa. Untuk mengatasi hal ini, saya sering
bertanya secara spontan di tengah penjelasan agar siswa kembali fokus.
Interaksi kecil ini membantu menjaga atensi siswa dan mendorong mereka untuk
lebih terlibat dalam pembelajaran.
Bagi saya pribadi,
pengalaman PPL ini memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga. Setelah
bertahun-tahun menjadi mahasiswa, dan sekarang berada di posisi sebagai calon pendidik,
saya menyadari betapa pentingnya kesiapan mental dan spiritual seorang guru. Seorang
pendidik harus mampu menjaga emosinya, karena perilaku siswa sering kali
menjadi cerminan dari kondisi spiritual kita. Ketika seorang guru merasa lelah
atau kurang dekat dengan Allah, hal itu bisa tercermin dari interaksi dengan
siswa yang menantang kesabaran.
Menjadi guru tidak hanya soal transfer ilmu, tetapi juga soal bagaimana kita bisa menjadi teman dan pembimbing bagi siswa. Guru yang tenang dan penuh kasih akan lebih mudah diterima oleh siswa. Sebaliknya, guru yang mudah emosi akan sulit mendekati hati siswa. Pengalaman ini membuat saya semakin menyadari bahwa menjadi pendidik adalah tugas mulia yang Allah berikan kepada kita. Guru bukan hanya mengajar, tetapi juga mengajak siswa menuju kebaikan dan mencegah mereka dari hal-hal negatif.
Pengalaman ini akan terus menjadi pengingat bagi saya, bahwa setiap tantangan yang dihadapi sebagai pendidik adalah bentuk ujian dan teguran dari Allah. Sebagai seorang calon guru, penting bagi kita untuk selalu memperbaiki hubungan dengan Allah, karena hanya dengan hati yang tenang kita bisa menjalankan tugas ini dengan ikhlas. Semoga refleksi dari pengalaman PPL ini dapat menjadi pelajaran bagi mahasiswa lain yang akan menjalankan PPL di masa mendatang. Kesiapan akademik, mental, dan spiritual sangat penting agar kita bisa menjadi pendidik yang tidak hanya berhasil di kelas, tetapi juga menjadi inspirasi bagi siswa-siswa kita.
**Esai ini ditulis oleh Tazkiatul 'Ulya, mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Lhokseumawe
Sub YouTube Channel
Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:
Tags : Artikel Kampus Pendidikan Serba Serbi
Posting Komentar