Kamis, 26 Juni 2025

Pentas Seni Santri Darularafah Raya Ramaikan Tanah Gayo: Pagelaran Seni, Lomba Tiga Bahasa, dan Khitanan Massal Jadi Panggung Silaturahmi

Rangkang Belajar | Takengon – Gedung Olah Seni (GOS) Takengon, Aceh Tengah, menjadi saksi  semarak kreativitas para santri dari Pesantren Darularafah Raya (PDAR), Deli Serdang, Sumatera Utara, dalam sebuah acara kolaboratif yang bertajuk “Dari Darularafah Raya, untuk Masyarakat Aceh”, Kamis (26/6/2025) menghadirkan momen kehangatan silaturahmi.

Kegiatan yang digelar bekerja sama dengan Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Darularafah (IKAPDA) Aceh ini tidak hanya menghadirkan pagelaran seni santri, tetapi juga menyelenggarakan khitanan massal gratis serta lomba pidato tiga bahasa - Arab, Inggris, dan Indonesia - untuk siswa jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama se-Kabupaten Aceh Tengah.

Pagelaran seni yang melibatkan santri putra dan putri menampilkan pertunjukan drama bernilai dakwah, grup nyanyian religi (pop song islami), serta pidato dalam tiga bahasa yang membuktikan kemampuan komunikasi dan ekspresi para santri. Penampilan mereka mendapat sambutan hangat dari masyarakat, wali santri, dan alumni PDAR yang hadir memenuhi GOS Takengon.


Wakil Bupati Aceh Tengah, Muchsin Hasan, yang turut hadir bersama istri, menyampaikan apresiasi mendalam atas inisiatif PDAR dalam membangun jembatan ukhuwah Islamiyah antarwilayah melalui kegiatan yang menyentuh langsung masyarakat. “Kegiatan ini bukan sekadar kunjungan, melainkan bentuk nyata kontribusi pesantren terhadap masyarakat. Ini menjadi jembatan persaudaraan yang mempererat hubungan Aceh Tengah dengan Darularafah Raya,” ujarnya dalam sambutan.

Salah satu kegiatan sosial utama adalah khitanan massal yang diikuti oleh 40 anak dari keluarga prasejahtera. Pelaksanaan sunat dilakukan oleh tim relawan dari komunitas mantri sunat Bener Meriah yang dipimpin Muhammad Arif, alumni PDAR.

Sementara itu, lomba pidato tiga bahasa menyasar pelajar SD/MI dan SMP/MTs di Aceh Tengah dan sekitarnya. Ketua Panitia Pelaksana, Ansari Siregar, alumni angkatan ke-6 PDAR, menyatakan bahwa lomba ini diharapkan menjadi program tahunan pesantren sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan pengembangan literasi publik. “Kami ingin menghadirkan nilai-nilai pesantren dalam wujud nyata di tengah masyarakat. Kegiatan ini dirancang untuk mendorong keberanian, kecakapan bahasa, dan nilai-nilai keislaman dalam format yang kreatif dan mendidik,” ujarnya.

Dalam sambutannya, Pimpinan PDAR, Dr. Harun Lubis, M.Psi., menjelaskan bahwa program ini merupakan bagian dari misi besar pesantren dalam membina generasi melalui seni dan pengabdian sosial. Ia menyayangkan menurunnya ruang ekspresi seni yang edukatif di era digital dan berharap pesantren dapat menjadi pelopor dalam menghidupkan kembali kreativitas di dunia pendidikan. “Pagelaran ini adalah wujud program ekstrakurikuler kami. Lewat seni, kita ajarkan pesan dakwah dan nilai-nilai akhlak dengan cara yang menyenangkan dan menyentuh. Semoga ini menjadi kontribusi pesantren terhadap masyarakat luas yang berkelanjutan,” tutur Dr. Harun.

Rangkaian kegiatan ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah, menyisakan kesan mendalam bagi warga Aceh Tengah. Banyak pihak berharap acara seperti ini dapat menjadi agenda rutin tahunan sebagai bagian dari silaturahmi dan kontribusi pendidikan Islam yang berkelanjutan. (Admin)

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Minggu, 04 Mei 2025

Alumni Sambut Hangat Kunjungan Pimpinan Pesantren Darul Arafah Raya: Menjalin Ukhuwah, Menguatkan Sinergi, Menebar Manfaat


Rangkang Belajar | Lhokseumawe – Suasana hangat penuh keakraban menyelimuti acara temu ramah yang digelar oleh Ikatan Alumni Pesantren Darul Arafah (IKAPDA) wilayah Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Bireuen pada Minggu, 04/05/2025. Acara ini digelar sebagai bentuk sambutan atas kedatangan rombongan Pesantren Darul Arafah Raya (PDAR) Deli Serdang, Sumatera Utara, yang dipimpin langsung oleh Dr. H. Harun Lubis, M.Psi., selaku Mudir (Pimpinan) PDAR.

Kegiatan temu ramah ini mengusung tema "Menjalin Ukhuwah, Menguatkan Sinergi, Menebar Manfaat", sejalan dengan misi kunjungan rombongan PDAR untuk mempererat hubungan dengan para alumni serta memperkuat sinergi antara pesantren dan alumninya dalam meningkatkan citra dan daya tarik pendidikan pesantren di tengah masyarakat. Dalam kunjungannya, Pimpinan PDAR juga didampingi oleh Ust. Novi Alpan, M.Psi (bagian pendidikan dan pengajaran), Ust. Nirwansyah, M.Pd., (Kepala SMP Galih Agung), dan Ust, H. Romi Syafrizal, Lc. (Humas PDAR). 

Acara berlangsung dalam dua sesi. Sesi pertama dilaksanakan di Waroeng Bambu, Kreung Geukueh, Aceh Utara, mulai pukul 16.30 hingga 18.00 WIB. Sesi kedua berlanjut pada malam harinya, pukul 20.30 hingga 22.30 WIB, bertempat di rumah salah satu alumni di kawasan Panggoi, Lhokseumawe.

Sekira 50 alumni (Santri dan Dyah) dari lintas angkatan, mulai dari angkatan pertama hingga angkatan ke-31, hadir memeriahkan acara ini. Mereka datang dari berbagai latar belakang profesi, seperti guru, dosen, dokter, TNI, pengusaha, wirausahawan, hingga mahasiswa aktif, menunjukkan keberagaman kontribusi alumni PDAR di Tanah Rencong - Serambi Mekah. 


Salah satu alumni yang berdomisili di Lhokseumawe, Mahmud Hamzah, yang juga mewakili tuan rumah penyelenggara, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan langkah awal yang sangat berarti bagi wilayah Aceh. “Kegiatan roadshow yang dihadiri langsung oleh pimpinan PDAR merupakan gebrakan perdana untuk wilayah Aceh dan menjadi langkah baik dalam meningkatkan kepercayaan serta loyalitas. Untuk itu, kami merasa penting mengundang alumni dari Aceh Utara dan Bireuen sebagai bentuk apresiasi kami terhadap langkah baik ini,” ujar Mahmud.

Tak hanya menjadi ajang silaturahmi, acara ini juga dimanfaatkan sebagai momen sosialisasi tentang perkembangan terbaru kegiatan pendidikan di Pesantren Darul Arafah Raya. Dalam suasana penuh kekeluargaan, sesi diskusi terbuka digelar untuk menampung saran dan masukan dari alumni demi kemajuan bersama.

Kunjungan ini menjadi langkah strategis PDAR dalam memperkuat jaringan alumni dan memperluas dampak positif pendidikan pesantren. “Kehadiran kami ke daerah ini bukan hanya untuk bersilaturahmi, tetapi juga sebagai bagian dari ikhtiar besar membangun koneksi yang lebih erat antara pesantren dan alumninya,” ujar Dr. Harun Lubis dalam sambutannya.

Antusiasme dan semangat alumni dalam menyambut rombongan PDAR mencerminkan kuatnya rasa memiliki terhadap almamater, serta kesiapan untuk terus bersinergi dalam misi dakwah dan pendidikan. Diharapkan kegiatan seperti ini dapat terus berlanjut dan menjadi inspirasi bagi Alumni di wilayah-wilayah lainnya. (Admin)

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:
Cloud Hosting Indonesia

Rabu, 06 November 2024

Study Tour Kelas Sains Unggulan Pesantren Darularafah Raya: Pembelajaran Nyata di IPAM Sunggal dan OIF UMSU


Rangkang Belajar | Madrasah Aliyah Swasta Pesantren Darularafah Raya, Deli Serdang, siap menyelenggarakan kegiatan study tour untuk kelas 5 Sains Unggulan pada Rabu, 6 November 2024. Kegiatan ini bukan sekadar kunjungan, tetapi sebuah upaya untuk memberikan pengalaman belajar yang langsung dan mendalam, membantu para santri melihat bagaimana ilmu sains diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam study tour ini, para santri mengunjungi dua lokasi penting: Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) Sunggal dan Observatorium Ilmu Falak (OIF) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Di IPAM Sunggal, para santri akan belajar langsung tentang proses pengelolaan air bersih yang vital bagi kehidupan. Mereka akan melihat bagaimana teknologi dan metode ilmiah diterapkan untuk menjaga kualitas air bersih, memperkenalkan mereka pada konsep penting bahwa sains memiliki peran besar dalam kebutuhan pokok manusia.

Selanjutnya, mereka menuju OIF UMSU untuk memperdalam ilmu astronomi. Di observatorium ini, para santri mempelajari cara kerja teleskop, mengamati benda-benda langit, serta mendapatkan wawasan tentang pentingnya ilmu falak dalam konteks kehidupan, seperti penentuan waktu ibadah dalam Islam. Dengan adanya peralatan canggih di observatorium ini, para santri dapat merasakan pengalaman langsung yang sulit didapat di ruang kelas.

Ustazah Yenni, wali kelas sekaligus pembimbing kegiatan, menyampaikan harapannya bahwa melalui study tour ini, para santri akan mendapatkan wawasan baru tentang penerapan sains dalam dunia nyata, sekaligus menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap ilmu pengetahuan. "Kami ingin mereka bukan hanya tahu teori, tapi juga memahami bagaimana sains bekerja dalam keseharian," ujarnya.

Agar hasil kegiatan ini lebih maksimal, kami akan melakukan lanjutan pembelajaran yang dirancang untuk memperdalam pemahaman para santri setelah study tour, imbuhnya. Pembelajaran lanjutan yang dimaksud, antara lain:  
  1. Refleksi dan Diskusi Kelompok: Sepulang dari study tour, para santri akan mengikuti sesi refleksi bersama untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan baru yang mereka dapatkan. Pembimbing akan memandu diskusi tentang hal-hal yang menarik atau mengesankan, serta bagaimana ilmu tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan mereka. Kegiatan ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman santri dan membantu mereka menghubungkan antara teori dan praktik.
  2. Pelatihan Presentasi dan Publikasi: Para santri juga akan diberi kesempatan untuk mempersiapkan presentasi yang akan disampaikan kepada teman-teman di kelas lain. Melalui kegiatan ini, mereka tidak hanya mempraktikkan ilmu sains, tetapi juga mengasah keterampilan komunikasi dan presentasi. Jika memungkinkan, hasil study tour ini bisa dituangkan dalam bentuk artikel atau laporan singkat untuk dipublikasikan di website pesantren atau di media sosial, sehingga pengalaman ini juga bisa menginspirasi santri lainnya.
Melalui pendekatan ini, Pesantren Darularafah Raya menunjukkan komitmennya dalam membentuk generasi muda yang tidak hanya kaya pengetahuan, tetapi juga mampu melihat nilai praktis sains dalam kehidupan sehari-hari.

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Minggu, 27 Oktober 2024

Temu Kangen Alumni Latas-Al Dyah Galih Agung: "Merajut Kenangan, Membangun Silaturrahmi" di Pesantren Darularafah Raya


Rangkang Belajar | Deli Serdang – Temu kangen alumni ke-9 Latas-Al (Ladies Tāsi’ah Alumnus) Dyah Galih Agung Pesantren Darularafah Raya berlangsung penuh kehangatan pada Sabtu, 26/10/2024, dengan mengusung tema “Merajut Kenangan, Membangun Silaturrahmi.” Acara ini mempertemukan alumni Angkatan ke-9 yang saat ini berada di berbagai daerah, bahkan Stella Nindy, S.Pd. yang menetap di Rheinland-Pfalz - Jerman turut hadir sebagai koordinator dalam kegiatan ini. Temu kangen menjadi ajang mempererat kembali tali persaudaraan dan memberikan penghargaan kepada para pendidik mereka yang telah berjasa dalam membentuk karakter dan ilmu.

Acara diawali dengan pembacaan sejarah singkat Alumni Latas-Al oleh pembawa acara dan pemutaran video kenangan, yang menghadirkan nostalgia masa-masa berharga selama di pesantren. Sambutan disampaikan oleh Pimpinan Pesantren Darularafah Raya, yang mengapresiasi kontribusi para alumni dalam membangun hubungan erat dengan pesantren. Dalam acara ini, alumni Latas-Al juga memberikan cenderamata sebagai simbol penghormatan kepada Pesantren Darul Arafah Raya. Ustaz Dr. H. Harun Lubis, M.Psi, selaku Pimpinan pesantren menerima penghargaan dari Rafni Wahyun, mewakili alumni dengan haru. 

Pesan dan kesan disampaikan oleh Ustaz Ahmad Rifa’i, S.Ag., Kepala Sekolah SMA Alumni Latas-Al, serta Ustaz Mahmud El-Qudri, M.Ag., yang mewakili para guru (asatizah). Ustaz Rifa’i berharap, alumni dapat menjadi teladan di lingkungan masing-masing dan mengaplikasikan ilmu serta pengalaman yang didapatkan di pesantren dalam kehidupan sehari-hari. Sementara Ustaz Mahmud El-Qudri, menyampaikan rasa bangga dan bahagia melihat alumni yang telah berhasil dalam berbagai bidang. Beliau berpesan agar alumni tidak melupakan akar pendidikan mereka dan selalu kembali ke pesantren untuk berbagi pengalaman dan ilmu dengan generasi selanjutnya.

Motivasi inspiratif juga diberikan oleh alumni berprestasi, Hj. Ainal Mardiah, S.Km., dan dr. Hj. Silvia Dwi Asti, S.PM. kepada para dyah kelas IX dan kelas XII. Mereka menekankan pentingnya pendidikan yang telah ditempuh di pesantren sebagai bekal dalam kehidupan bermasyarakat, mendorong Dyah Galih Agung untuk menjadi pribadi mandiri, berdaya saing, dan bermanfaat bagi banyak orang.

Acara temu kangen ini bukan hanya sekadar ajang reuni, tetapi juga menjadi wujud penghargaan alumni terhadap jasa para guru. Semangat kebersamaan dan apresiasi tinggi kepada para pendidik membuat kegiatan ini sangat bermakna, mempererat tali persaudaraan dan silaturrahmi yang tak lekang oleh waktu. (Nindy)

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Jumat, 04 Oktober 2024

Dayah Ulumuddin Melaksanakan Workshop Optimalisasi Kompetensi Guru Dayah: Mewujudkan Pendidik yang Siap Menghadapi Merdeka Belajar

Lhokseumawe, 4 Oktober 2024 – Dalam upaya meningkatkan kompetensi para pendidik, Dayah Ulumuddin yang berlokasi di Desa Uteun Kot, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe berhasil menggelar workshop bagi kalangan guru dayah di lingkungan Dayah Ulumuddin dengan tema "Optimalisasi Kompetensi Guru Dayah di Era Digital". Acara ini dihadiri oleh ustaz dan ustazah dari berbagai jenjang pendidikan yang bernaung di dayah tersebut, menunjukkan semangat tinggi untuk beradaptasi dengan perubahan zaman yang semakin digital dan juga perubahan kurikulum saat ini.

Workshop ini dibuka dengan pengantar dari Ketua Pelaksana, Musdar, M.Pd., yang sering disapa dengan panggilan Abi Musdar, Dalam sambutannya, Abi Musdar, yang juga menjabat sebagai Kepala Madrasah Aliyah mengungkapkan harapannya agar workshop ini menjadi momen penting bagi guru-guru untuk meningkatkan kompetensi mereka, khususnya dalam menghadapi tantangan di era digital dan perkembangan Kurikulum Merdeka. Ia menekankan bahwa pendidikan adalah salah satu kunci untuk membangun generasi yang siap bersaing dan berkontribusi dalam masyarakat. Abi Musdar juga mendorong para pendidik untuk tidak hanya mengandalkan pengetahuan yang ada, tetapi terus belajar dan berinovasi demi kemajuan pendidikan di dayah.

Kegiatan ini dilaksanakan dalam dua sesi, pagi dan siang hari, di mana pada sesi pertama diisi dengan materi tentang “Penerapan Literasi Numerasi Modul Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila”, yang membekali peserta dengan strategi konkret dalam menerapkan profil Pancasila dalam pembelajaran. Ini merupakan langkah penting untuk mendukung program pendidikan nasional yang lebih inklusif dan relevan.

Sesi kedua, yang berlangsung setelah Salat Jumat, menghadirkan Dr. Agus Salim Salabi, M.A., Ketua Prodi Pendidikan Agama Islam di FTIK IAIN Lhokseumawe, sebagai pembicara utama. Dalam sesi ini, Dr. Salabi mnyampaikan materi tentang “Optimalisasi Kompetensi Guru Dayah (Slide Materi dapat diunduh di sini)”, beliau memaparkan pentingnya mengoptimalkan kompetensi guru di era digital, terutama dalam menghadapi perubahan kurikulum dan tuntutan siswa yang semakin variatif. Pembicaraan berlangsung dalam suasana diskusi santai di musalla santriwati, di mana peserta aktif bertukar pikiran mengenai tantangan yang mereka hadapi dan strategi untuk mengatasinya.
Beberapa poin penting yang diungkapkan dalam workshop ini adalah hasil kuesioner yang menunjukkan bahwa 72,3% guru dayah merasa terpanggil untuk mengabdi. Namun, mereka juga dihadapkan pada berbagai tantangan, antara lain keterbatasan sumber daya (27,7%), kebutuhan untuk melek digital (38,3%), perubahan kurikulum (57,4%), minimnya pelatihan yang relevan (68,1%), dan kurangnya minat untuk pengembangan diri (21,3%).

Menariknya, para peserta sepakat bahwa pengembangan diri melalui pelatihan berkelanjutan adalah kunci untuk tetap relevan dalam dunia pendidikan yang terus berubah. Mereka juga membahas pemanfaatan media sosial dan platform digital sebagai alat pendukung dalam proses pembelajaran.

Dari hasil refleksi kegiatan, peserta berkomitmen untuk mengoptimalkan berbagai aspek kompetensi mereka. Dalam hal kompetensi pedagogik, mereka akan mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif. Untuk kompetensi sosial, mereka berencana meningkatkan komunikasi dengan wali santri dan menjalin hubungan baik dengan rekan kerja. Sementara untuk kompetensi profesional, mereka akan fokus pada pengembangan diri, pelatihan kurikulum, pemanfaatan aplikasi digital, dan pemahaman teknologi. Adapun dalam pengembangan kompetensi kepribadian, mereka akan melakukan muhasabah, eksplorasi online, dan penguatan nilai karakter guru.

Dengan antusiasme yang tinggi, peserta memberikan tanggapan positif terhadap kegiatan ini dan berharap agar workshop serupa dapat diadakan secara berkala, dengan materi yang lebih spesifik terutama mengenai pengelolaan kelas dan teknologi pendidikan. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan dorongan baru bagi para pendidik di dayah untuk terus meningkatkan kompetensi mereka, sekaligus menjawab tuntutan zaman yang semakin menuntut digitalisasi dalam dunia pendidikan. (Admin)

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Kamis, 11 Juli 2024

Workshop Manajemen Konflik Guru Pesantren Terpadu Almuslim: Mengelola Konflik di Lingkungan Institusi dan Asrama Santri


Rangkang Belajar | Matangglumpangdua, Bireuen, Aceh - Pada tanggal 11 Juli 2024, Pesantren Terpadu Almuslim menggelar workshop bertema "Manajemen Konflik: Mengelola Konflik di Lingkungan Institusi dan Asrama Santri". Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pemahaman para pendidik mengenai jenis-jenis konflik, membekali mereka dengan strategi manajemen konflik, dan meningkatkan kemampuan menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif.

Workshop ini dihadiri oleh 50 peserta yang terdiri dari ustaz dan ustazah Pesantren Terpadu Almuslim Matangglumpangdua, dan berlangsung selama satu hari penuh. Acara dimulai pukul 08.00-16.00 dengan pembukaan oleh Wakil Direktur Holis Wahyu Prasetyo, Gr. S.Pd.I., yang menjelaskan tujuan dan agenda workshop. Ustaz Wahyu menyampaikan tentang pentingnya dan manfaat kegiatan ini untuk meningkatkan kemampuan  asatizah (para guru) dalam mengelola konflik serta menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif di pesantren.
Materi workshop disampaikan langsung oleh dua pakar Manajemen Pendidikan Islam, Dr. Muhammad Anggung Manumanoso Prasetyo, M.Pd.I dan Dr. Agus Salim Salabi, M.A., yang juga merupakan dosen pada Program Studi Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Lhokseumawe, sekaligus orang-orang yang pernah mengalami dan merasakan langsung dinamika konflik di lingkungan pesantren. Kedua narasumber tersebut pernah menjadi santri dan juga tenaga pendidik di pesantren, sehingga memiliki pengalaman langsung yang sangat relevan.

Materi awal terkait "Pengenalan Konflik, Identifikasi, dan Penyebab Konflik di Institusi" disampaikan oleh Dr. Muhammad Anggung Manumanoso Prasetyo, M.Pd.I. Sementara materi terkait "Memahami Konflik di Asrama Santri dan Strategi Pengelolaannya" disampaikan  oleh Dr. Agus Salim Salabi, M.A. Para peserta workshop juga disajikan beberapa studi kasus mengenai konflik nyata di lingkungan institusi dan lingkungan asrama santri serta cara penanganannya oleh narasumber.
Untuk mendapatkan umpan balik dari para peserta, dilakukan pula sesi refleksi yang menghasilkan beberapa masukan, antara lain:
  1. Para peserta merasa mendapatkan banyak wawasan baru tentang manajemen konflik. Mereka belajar bahwa tidak semua konflik berdampak negatif; dengan pengelolaan yang tepat, konflik bisa menjadi hal positif. Peserta juga memahami pentingnya menyikapi konflik sebagai tantangan yang memerlukan teori dan pengalaman yang memadai.
  2. Bagian paling menarik dari workshop adalah penggunaan media pembelajaran berupa ringkasan materi (ppt) yang dapat diakses melalui website, serta strategi terbaik dalam mengidentifikasi konflik. Penyelesaian konflik dibahas mendalam, termasuk cara mendengar dan memberikan kesempatan santri menyampaikan pandangan mereka. Kesempatan belajar dari para ahli yang menyampaikan materi dengan gaya humoris, ramah, dan jelas juga menambah daya tarik workshop ini.
  3. Sejauh ini, peserta merasa tidak ada konsep atau topik yang sulit dipahami. Semua materi dapat dipahami dengan baik.
  4. Workshop ini memberikan banyak informasi baru yang mengubah pandangan peserta. Mereka belajar bahwa kegiatan orientasi dalam manajemen konflik di pesantren sangat penting. Sikap yang baik dalam penanganan masalah konflik dan contoh-contoh nyata di pesantren juga menjadi pengetahuan berharga. Pandangan peserta tentang pola asuh yang baik dan perhatian terhadap mereka yang tidak terlibat dalam konflik juga meningkat.
  5. Untuk memperdalam pemahaman, peserta berencana melakukan mini riset untuk memastikan implementasi teori manajemen konflik di pesantren. Mereka akan memahami konflik secara detail, mengoreksi diri dalam menangani konflik, mengamalkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, dan melengkapi pengetahuan dengan kajian empiris dan referensi terkait. Membaca jurnal, buku, dan mencari rujukan di media sosial juga menjadi langkah yang akan diambil.
Workshop ini berhasil membekali asatizah dengan pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik yang diharapkan dapat diterapkan dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih kondusif di pesantren. (Admin)

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Jumat, 19 April 2024

Model Transmisi Ilmu dan Karakter di Dayah Darul Abrar Blang Reuling, Aceh

Oleh: Hasanul Afkar
Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah, IAIN Lhokseumawe
Pendahuluan
Pendidikan Islam tradisional di Aceh memiliki akar yang panjang dan kokoh dalam membentuk peradaban serta karakter masyarakat. Dayah tidak hanya menjadi lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat pembentukan akhlak, spiritualitas, dan kecerdasan sosial (Azra, 1999; Bashori, Novebri, & Salabi, 2022). Salah satu dayah yang konsisten menjalankan fungsi ini adalah Dayah Darul Abrar Blang Reuling, yang berdiri pada tahun 1999 atas inisiatif Tgk. Sulaiman Ishak, dikenal sebagai Abi Sulaiman, dengan dorongan gurunya, Alm. Tgk. H. Ramli Bencut atau Abati Babah Buloh.

Di tengah tantangan globalisasi dan krisis moral generasi muda, Dayah Darul Abrar mengusung visi membentuk insan paripurna yang seimbang antara intelektualitas dan kedalaman spiritual. Penelitian ini mengulas sejarah, perkembangan, kurikulum, serta metode pembelajaran di Dayah Darul Abrar sebagai model pendidikan Islam integratif di Aceh.

Tradisi pendidikan dayah di Aceh telah berperan penting sebagai penjaga warisan keilmuan Islam (turats) dan nilai-nilai lokal yang membentuk identitas masyarakat Aceh. Dalam perkembangannya, dayah tidak hanya berfungsi mentransmisikan ilmu agama, tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan sosial dan pembentukan karakter. Hal ini menjadikan peran dayah semakin relevan, terutama dalam menghadapi tantangan modern seperti krisis moral, penetrasi budaya global, serta kebutuhan akan generasi muda yang memiliki keseimbangan antara keilmuan, spiritualitas, dan akhlak. Melalui telaah mendalam terhadap pengalaman Dayah Darul Abrar Blang Reuling, penelitian ini juga mencoba melihat bagaimana model pendidikan tradisional dapat tetap kontekstual dan menjawab kebutuhan zaman.

Sejarah dan Perkembangan Dayah
Pendirian Dayah Darul Abrar bermula dari permintaan masyarakat Blang Reuling untuk menghadirkan lembaga pendidikan Islam yang terstruktur. Awalnya, Tgk. Sulaiman Ishak merasa belum pantas menerima amanah ini. Namun, berkat nasihat gurunya dan dukungan masyarakat, beliau memimpin dayah sejak 1999.

Abi Sulaiman menimba ilmu di Dayah Nurul Islam Babah Buloh selama 13 tahun (1986–1999). Berbekal pengalaman tersebut, beliau mendirikan Dayah Darul Abrar di lokasi sederhana dekat sungai, dengan fasilitas terbatas. Tahun 2000, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah. Masa sulit pernah dialami, tetapi terobosan seperti membuka SMK dan memperbolehkan santri sekolah formal sambil mondok membawa perubahan signifikan.

Pada 2014, dibangun komplek baru khusus santri putra di atas lahan rawa yang ditimbun bersama masyarakat. Kendati 8 bilik awal hangus terbakar pada 2023, semangat pengembangan tidak surut. Kini, dengan lahan sekitar 4 hektar dan akreditasi B, Dayah Darul Abrar menjadi salah satu dayah yang diperhitungkan di Aceh Utara, melahirkan santri berprestasi di lomba pidato, baca kitab kuning, dan cerdas cermat tingkat provinsi.

Kesuksesan ini tak lepas dari dedikasi para ustadz dan ustadzah, banyak di antaranya alumni dayah ternama, yang tidak hanya menguasai kitab kuning tetapi juga menjadi teladan akhlak dan pembimbing spiritual santri.

Kurikulum dan Transmisi Ilmu Keislaman
Kurikulum Dayah Darul Abrar mengintegrasikan pelajaran agama klasik dengan nilai-nilai moral dan pembinaan akhlak. Pada jenjang Tsanawiyah (setara SMP), santri mempelajari: Al-Qur’an, Fiqh, Tasawuf, Tauhid, Nahu, Sharaf, Akhlak, Tarikh, Tasref, dan Hadis.

Sedangkan pada jenjang Aliyah (setara SMA), materi diperluas menjadi: Al-Qur’an, Fiqh, Tasawuf, Tauhid, Nahu, Sharaf, Akhlak, Tarikh, Tasref, Hadis, Tafsir, Mantiq, Bayan, dan Ushul Fiqh.

Pembelajaran didasarkan pada kitab-kitab klasik (turats) yang disusun bertahap dari matan (teks ringkas) hingga syarah dan hasyiah (penjelasan mendalam), sesuai tradisi pendidikan Islam (Bruinessen, 1995; Azra, 1999).

Kitab yang diajarkan di Tsanawiyah meliputi:
  1. Fiqh: Matan Ghayah wa Taqrib, Mathal al-Badri, Al-Bajuri, I’anat al-Thalibin jilid 1–2.
  2. Sharaf: Dhammon, Kailani, Matan Bina.
  3. Nahu: Takhrir al-Aqwal, Al-Jurumiyah, Mutammimah al-Jurumiyah.
  4. Tasawuf: Adab al-Insan, Taisir al-Khalaq, Ta’lim al-Muta’allim.
  5. Ilmu rumah tangga (santriwati): Uqud al-Lujain.
  6. Tarikh: Riwayat Nabi, Khulasah jilid 1–2.
  7. Tauhid: Aqidah Islamiyah, Tijan ad-Durar, Kifayah al-Awwam.
  8. Hadis: Arba’in Nawawi.
Di tingkat Aliyah, santri mempelajari kitab lanjutan seperti:
  1. Fiqh: I’anat al-Thalibin jilid 3–4, Syarqawi ‘ala Tahrir, Al-Mahalli.
  2. Nahu: Athar Azhari.
  3. Sharaf: Silsilah al-Madkhal.
  4. Tasawuf: Ta’lim al-Muta’allim, Al-Muraqi.
  5. Tafsir: Tafsir Jalalain.
  6. Ushul Fiqh: An-Nufahat.
  7. Mantiq: Izah al-Mubham.
  8. Bayan: Majmu’ Khamsin.
  9. Hadis: Musthalah Hadis.
  10. Ilmu rumah tangga: Uqud al-Lujain.
  11. Tarikh: Khulasah jilid 3.
  12. Tauhid: Kifayat al-Awwam, Hudhudi.
Struktur kurikulum ini dirancang tidak hanya untuk membekali santri dengan hafalan dan pemahaman tekstual, tetapi juga untuk membentuk nalar kritis dan kedalaman spiritual. Kitab-kitab seperti Matan Ghayah wa Taqrib dan I’anat al-Thalibin mengajarkan fiqh mazhab Syafi’i yang menjadi pegangan mayoritas masyarakat Aceh, sementara kitab Tafsir Jalalain membantu santri memahami makna Al-Qur’an secara lebih komprehensif. Penggunaan kitab Ta’lim al-Muta’allim juga menjadi ciri khas pesantren, karena menekankan pentingnya adab dan etika dalam menuntut ilmu—nilai yang menjadi inti pendidikan pesantren tradisional.

Selain materi keilmuan, kurikulum di Dayah Darul Abrar juga memuat unsur keterampilan hidup seperti ilmu rumah tangga khusus bagi santriwati, sehingga lulusan dayah tidak hanya siap secara intelektual dan spiritual, tetapi juga memiliki bekal praktis untuk peran sosial dan keluarga. Pendekatan pendidikan seperti ini mencerminkan visi dayah sebagai lembaga yang tidak hanya mencetak ulama, tetapi juga membina generasi muslim yang utuh: berilmu, berakhlak, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Metode Pembelajaran: Halaqah dan Sorogan
Metode utama yang diterapkan adalah halaqah (pengajian bersama dengan penjelasan ustadz) dan sorogan (santri membaca kitab di hadapan guru untuk dikoreksi). Santri diajak menerjemahkan, memahami teks, serta mendiskusikan konteksnya. Pendekatan ini menciptakan keterlibatan aktif santri dalam memahami turats, membangun daya kritis, sekaligus menanamkan penghormatan kepada guru (Salabi & Prasetyo, 2022).

Metode tradisional ini terbukti efektif menjaga kesinambungan transmisi ilmu, menumbuhkan kecintaan pada kitab kuning, dan memadukan teori dengan praktik kehidupan sehari-hari.

Penutup
Dayah Darul Abrar Blang Reuling menjadi salah satu contoh nyata lembaga pendidikan Islam yang sukses memadukan pengajaran kitab kuning (turats), pendidikan moral, dan pembinaan karakter santri. Sejak berdiri hingga kini, dayah ini tidak hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga pusat transformasi akhlak dan spiritualitas.

Melalui kurikulum klasik yang bertahap, metode halaqah dan sorogan, serta dedikasi para pengajar, Dayah Darul Abrar telah mencetak santri yang cakap dalam ilmu, berakhlak mulia, dan siap menjawab tantangan zaman. Perjalanan dan pengalaman Dayah Darul Abrar menjadi bukti pentingnya pelestarian tradisi pendidikan Islam lokal yang tetap kontekstual dengan kebutuhan masyarakat Aceh dan Nusantara.

Daftar Pustaka
Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos Wacana Ilmu.
Bashori, B., Novebri, N., & Salabi, A. S. (2022). Budaya Pesantren: Pengembangan Pembelajaran Turats. Al Mabhats: Jurnal Penelitian Sosial Agama, 7(1), 67–83. https://doi.org/10.47766/almabhats.v7i1.911.
Bruinessen, M. V. (1995). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.
Salabi, A. S., & Prasetyo, M. A. M. (2022). The Internalization of Banjaran Cultural Character Values in Musthafawiyah Islamic Boarding School, Purbabaru. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 46(2), 257–273. http://dx.doi.org/10.30821/miqot.v46i2.900.

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Jumat, 08 Maret 2024

Model Pendidikan Integratif di Ma’had Ta’limul Qur’an Utsman bin Affan, Aceh

Oleh: Alfiyyah Rojwaa, Siti Adawiyyah, Siti Audya Jhara
Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah, IAIN Lhokseumawe

Pendahuluan
Pendidikan Islam tradisional di Aceh memiliki akar sejarah panjang sebagai pusat transmisi nilai dan ilmu keislaman (Azra, 2012). Dalam konteks ini, dayah dan pesantren bukan hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga membentuk akhlak dan spiritualitas generasi muda (Bashori, Novebri, & Salabi, 2022). Salah satunya adalah Ma’had Ta’limul Qur’an Utsman bin Affan (MATAQU), didirikan pada 2014 oleh Azhar Ibrahim, SQ, M.Pd., yang bercita-cita mencetak penghafal Al-Qur’an yang tidak hanya kuat hafalannya, tetapi juga berakhlak mulia dan memiliki wawasan keilmuan luas. Berbeda dengan sebagian lembaga tahfiz lain yang hanya fokus pada hafalan, MATAQU juga mengajarkan kitab kuning serta ilmu umum secara terstruktur.

MATAQU hadir sebagai jawaban atas tantangan modern: bagaimana mengintegrasikan tradisi tahfiz dengan ilmu-ilmu umum dan pengajaran kitab kuning dalam satu kurikulum yang seimbang (Madjid, 1997). Melalui pendekatan holistik, MATAQU menyeimbangkan penguatan iman, ilmu, dan akhlak.

Sejarah dan Perkembangan Ma’had
Bermula dari pengalaman mengelola PPTQ Aceh Utara selama satu dekade, Azhar Ibrahim kemudian mendirikan MATAQU dengan semangat “adab sebelum ilmu, iman sebelum Al-Qur’an”. Terinspirasi dari Madrasah Al-Fatih Bogor, beliau merancang lembaga ini sebagai pusat pendidikan tahfiz yang tetap membuka ruang untuk ilmu umum.

Sejak awal, MATAQU berdiri dengan fasilitas sederhana. Tahun 2016 pindah ke kawasan Arun, hingga akhirnya pada 2020 memiliki kompleks permanen seluas empat hektar di Alue Lim, Lhokseumawe. Proses ini tidak lepas dari tantangan, termasuk saat harus mengosongkan gedung akibat pandemi COVID-19. Namun, tekad pengelola dan santri menjadikan MATAQU tumbuh menjadi lembaga yang kini berakreditasi A, dengan santri yang meraih prestasi di lomba Tahfiz 30 Juz, Hafalan 100 Hadis, hingga kejuaraan Matematika dan Fisika tingkat kabupaten.

MATAQU didukung tenaga pengajar berkompeten, banyak di antaranya alumni kampus nasional dan Timur Tengah, yang tidak hanya hafiz Qur’an tetapi juga menguasai tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, dan bahasa Arab.

Kurikulum Integratif: Umum, Kitab Kuning, dan Tahfiz
Kurikulum MATAQU memadukan pelajaran umum seperti Matematika, IPA, Bahasa Inggris, PPKn, dan Bahasa Indonesia dengan pendidikan agama yang kuat: Aqidah, Akhlak, Sirah Nabawiyah, Durus Minal Qur’an, dan Hadis Arba’in. Kurikulum ini sesuai dengan tradisi pendidikan Islam klasik: diawali dari kitab matan (ringkas) menuju syarah dan hasyiah (penjelasan dan komentar) untuk memperdalam pemahaman (Bruinessen, 1995; Azra, 1999). Pendekatan ini juga sejalan dengan temuan Bashori et al. (2022) yang menekankan pentingnya mengembangkan pembelajaran turats berbasis budaya pesantren agar tetap kontekstual.

Pada tingkat Aliyah, kurikulum diperluas dengan kitab-kitab klasik, seperti:
  1. Tafsir: Mukhtasar Rawai’ul Bayan
  2. Tauhid: Kifayatul ‘Awam
  3. Fiqih: Hasyiyah al-Bajuri
  4. Ulumul Hadits: Taisir Musthalah al-Hadits
  5. Ulumul Qur’an: Mukhtasar Manahil al-‘Irfan
  6. Ushul Fiqih: Mabadi Awaliyah
  7. Bahasa Arab: Kawakib Durriyah Syarh Mutammimah al-Jurumiyyah
Pola seperti ini mengikuti tradisi pendidikan Islam klasik yang menekankan transisi dari matan ringkas menuju syarah dan hasyiah (Bruinessen, 1995; Azra, 1999).

Metode Pengajaran dan Tahfiz: Halaqah, Sorogan, dan Sabaq-Sabqi-Manzil
MATAQU mempraktikkan metode halaqah, di mana santri duduk melingkar mendengarkan ustadz/ustadzah menjelaskan kitab kuning; dan sorogan, yaitu santri membaca teks langsung di hadapan guru untuk diperbaiki dan dijelaskan maknanya, termasuk gramatika Arab. Selain penguatan kognitif, metode halaqah dan sorogan di MATAQU juga menanamkan nilai kedisiplinan, kesabaran, dan penghormatan kepada guru, sebagaimana dijelaskan Salabi dan Prasetyo (2022) yang menemukan bahwa internalisasi nilai budaya lokal dalam pembelajaran di pesantren memperkuat karakter dan spiritualitas santri.

Selain itu, metode tahfiznya dikenal dengan pola sabaq-sabqi-manzil:
  1. Sabaq: hafalan baru yang disetor harian
  2. Sabqi: mengulang hafalan sebelumnya agar tetap terjaga
  3. Manzil: menggabungkan semua hafalan untuk menjaga konsistensi
Metode ini terbukti efektif dalam memperkuat hafalan dan pemahaman teks (Hefner, 2009).

Penutup
Ma’had Ta’limul Qur’an Utsman bin Affan menjadi contoh inspiratif lembaga pendidikan Islam kontemporer yang berhasil memadukan tradisi dan inovasi. Dengan kurikulum integratif, ma’had ini tidak hanya melahirkan generasi penghafal Al-Qur’an, tetapi juga santri yang unggul dalam ilmu, berakhlak, dan siap merespons tantangan zaman.

Keberhasilan tersebut menegaskan pentingnya pendidikan berbasis nilai: menanamkan akhlak, memperdalam pemahaman kitab kuning (turats), serta menguatkan daya pikir kritis dan keterampilan abad 21. Pelestarian tradisi pesantren, dipadukan dengan inovasi kurikulum dan penguatan karakter, menjadi kunci mencetak generasi muslim yang berilmu dan beradab. Dengan model pendidikan yang demikian, MATAQU tidak hanya berkontribusi bagi kemajuan santri dan masyarakat Aceh, tetapi juga menjadi bagian penting dari upaya menjaga kesinambungan transmisi keilmuan Islam di Nusantara.

Dengan demikian, model pendidikan seperti MATAQU dapat menjadi inspirasi bagi lembaga lain yang ingin menggabungkan penguatan akidah, penguasaan turats, serta kesiapan menghadapi perkembangan zaman.

Daftar Pustaka
Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos Wacana Ilmu.
Bashori, B., Novebri, N., & Salabi, A. S. (2022). Budaya Pesantren: Pengembangan Pembelajaran Turats. Al Mabhats: Jurnal Penelitian Sosial Agama, 7(1), 67–83. https://doi.org/10.47766/almabhats.v7i1.911.
Bruinessen, M. V. (1995). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Mizan.
Hefner, R. W. (2009). Islamic Schools, Social Movements, and Democracy in Indonesia. Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 55-105.
Madjid, N. (1997). Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Salabi, A. S., & Prasetyo, M. A. M. (2022). The Internalization of Banjaran Cultural Character Values in Musthafawiyah Islamic Boarding School, Purbabaru. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 46(2), 257–273. http://dx.doi.org/10.30821/miqot.v46i2.900.

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Jumat, 12 Januari 2024

Dayah dan Transmisi Ilmu-ilmu Keislaman di Aceh: Studi Kasus di Dayah Keumaral Al-Aziziyah

Dayah dan Transmisi Ilmu-ilmu Keislaman di Aceh: Studi Kasus di Dayah Keumaral Al-Aziziyah

Oleh: Zatul Mustara, Revina Wahyu Undaria, Desi Ratna Sari Munthe
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe)

Pendahuluan
Dayah Salafi adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang berperan penting dalam menjaga keberlanjutan sanad dan warisan keilmuan Islam di Nusantara, khususnya di Aceh. Sejak masa awal Islam, dayah bukan hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga pusat kaderisasi ulama dan penguatan budaya Islam lokal (Azra, 1999).

Salah satu contohnya adalah Dayah Keumaral Al-Aziziyah di Aceh Utara. Dayah ini tetap setia pada tradisi pengajaran kitab kuning, seperti Tafsir al-Jalalain, al-Bajuri, dan al-Muqaddimah al-Ajurrumiyyah, yang diajarkan secara bertahap mulai tingkat Tsanawiyah hingga Aliyah. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada hafalan dan pemahaman teks, tetapi juga pada pembentukan akhlak, kedisiplinan, dan kebiasaan hidup Islami santri.

Namun, modernitas menghadirkan tantangan baru. Seperti disampaikan Bruinessen (1995) dan Salabi & Prasetyo (2022), pendidikan pesantren dan dayah harus terus beradaptasi agar tetap relevan, tanpa kehilangan karakter tradisionalnya. Dayah Keumaral Al-Aziziyah menjawab tantangan ini dengan membuka ruang pembelajaran kontekstual dan mengarahkan santri untuk melek teknologi serta wawasan global, sembari tetap menjaga otentisitas ajaran klasik.

Sejarah Singkat Dayah Keumaral Al-Aziziyah
Didirikan oleh Tgk. T. Zulfadli bin H. T. Ismail (Waled Landeng) pada tahun 2014, dayah ini memulai kegiatan belajar mengajar secara resmi pada tahun 2015. Waled Landeng sendiri menimba ilmu di MUDI Mesra Samalanga hingga 2008, sebelum melanjutkan pengabdian dan pendalaman ilmu di Pesantren Nurul Kamal Al-Aziziyah.

Awalnya, santri di dayah ini kebanyakan pulang-pergi dari rumah masing-masing. Namun sejak 2021, jumlah santri yang mondok di asrama meningkat pesat, termasuk santri dari luar Aceh Utara seperti Medan, Bireuen, Aceh Singkil, hingga Aceh Timur. Ini menunjukkan daya tarik dan reputasi keilmuan dayah yang kian meluas.

Metode Transmisi Ilmu Keislaman
Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, Dayah Keumaral Al-Aziziyah menerapkan metode pengajaran khas yang telah diwariskan turun-temurun. Metode-metode ini bukan hanya sarana menyampaikan ilmu, tetapi juga menjadi media pembentukan karakter dan spiritualitas santri.

Secara umum, terdapat empat pendekatan utama yang menjadi ciri khas proses belajar-mengajar di dayah ini:
  1. Halaqah: Diskusi ilmiah dalam kelompok kecil yang melibatkan guru dan santri. Melalui halaqah, santri tidak hanya menerima materi secara pasif, tetapi juga aktif bertanya dan menanggapi.
  2. Sorogan: Santri membaca kitab langsung di hadapan guru. Guru kemudian mengoreksi, memperbaiki, dan meluruskan pemahaman bacaan, sehingga tercipta proses belajar individual yang mendalam.
  3. Bandongan: Guru membaca dan menerangkan isi kitab kuning kepada santri, sementara santri mendengar dan mencatat poin penting sebagai bekal pengkajian lebih lanjut.
  4. Pengamalan sosial: Santri diajak untuk menghidupkan nilai-nilai Islam dalam keseharian melalui kegiatan ibadah berjemaah, gotong royong, hingga bakti sosial di lingkungan sekitar.
  5. Metode-metode ini sesuai dengan penjelasan Dhofier (2011), bahwa inti pendidikan pesantren dan dayah terletak pada hubungan guru-murid yang erat dan pola pembelajaran yang partisipatif, sehingga ilmu tidak hanya dipahami secara teks, tetapi juga dihidupkan dalam perilaku.
Kurikulum Kitab Kuning
Dalam rangka mendalami khazanah keilmuan Islam, Dayah Keumaral Al-Aziziyah membagi kurikulum kitab kuning sesuai jenjang pendidikan santri: tingkat Tsanawiyah (setara SMP) dan Aliyah (setara SMA).

Tingkat Tsanawiyah:
  1. Ghayah wat-Taqrib (fikih)
  2. al-Ajurrumiyyah (nahwu)
  3. al-Amtitsal at-Tashrifiyyah (sharaf)
  4. Aqidah Islamiyah, Khamsatun Mautun (tauhid)
  5. Ta'lim al-Muta’allim (tasawuf)
  6. Sullam al-Munawraq (mantiq)
  7. Matan Arba'in (hadis)
  8. Nurul Yaqin (sirah Nabawiyah)
Tingkat Aliyah:
  1. I'anatuth Thalibin (fikih)
  2. Alfiyah Ibn Malik dan al-Kawakib ad-Durriyah (nahwu)
  3. Kailani (sharaf)
  4. Matlub dan Kifayat al-Awam (tauhid)
  5. Idhah al-Mubham (mantiq)
  6. al-Majalis as-Saniyyah (hadis)
Kitab-kitab tersebut merupakan karya para ulama besar seperti Imam Nawawi, Imam al-Mahalli, Imam Ibn Malik, dan Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha al-Dimyathi. Pemilihan kitab disesuaikan dengan tingkat pemahaman santri agar pembelajaran dapat berjalan bertahap dan mendalam.

Lebih dari sekadar materi ajar, kitab-kitab ini menjadi sarana menjaga kesinambungan manhaj Asy’ariyah dalam akidah, serta pendekatan tasawuf ala Imam al-Ghazali yang menekankan keseimbangan antara ilmu, akhlak, dan spiritualitas. Dengan demikian, kurikulum di dayah ini tidak hanya mendidik kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun ketangguhan moral dan kesadaran sosial santri.

Pembahasan: Memadukan Tradisi dan Konteks Modern
Dayah Keumaral Al-Aziziyah menjadi contoh nyata lembaga tradisional yang berupaya kontekstual: mengajarkan kitab kuning dengan metode klasik, sambil tetap memperhatikan pentingnya literasi teknologi dan wawasan global bagi santri.

Sebagaimana disarankan oleh Abdurrahman Wahid dalam Hidayat (2016), pesantren dan dayah perlu mempersiapkan lulusan yang mampu berdialog dengan realitas sosial modern. Di dayah ini, pengajaran akhlak dan kepemimpinan diperkuat melalui kegiatan sosial dan pelatihan soft skill, agar lulusan siap terjun ke masyarakat, bukan hanya sebagai ahli agama, tetapi juga sebagai pemimpin yang bijak.

Pembelajaran di dayah juga tetap menempatkan guru (teungku) sebagai pusat teladan. Relasi erat antara santri dan guru membantu menjaga kedalaman penguasaan ilmu sekaligus pembinaan karakter, yang menjadi ciri khas pendidikan Islam tradisional.

Penutup
Keberadaan Dayah Keumaral Al-Aziziyah membuktikan bahwa transmisi ilmu-ilmu keislaman tradisional tidak hanya tetap relevan, tetapi juga dapat menjadi fondasi kokoh untuk melahirkan generasi ulama yang berkarakter, kritis, dan adaptif.

Dengan metode pengajaran yang tetap interaktif dan kurikulum kitab kuning yang terstruktur, dayah ini menjadi pusat pendidikan, pengembangan akhlak, dan penguatan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Harapannya, para alumni tidak hanya mewarisi tradisi keilmuan klasik, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman dan memberi manfaat luas bagi umat.

Referensi:
Salabi, A. S., & Prasetyo, M. A. M. (2022). The Internalization of Banjaran Cultural Character Values in Musthafawiyah Islamic Boarding School, Purbabaru. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 46(2), 257-273. http://dx.doi.org/10.30821/miqot.v46i2.900.
Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos Wacana Ilmu.
Bruinessen, M. V. (1995). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Mizan.
Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. LP3ES.
Hidayat, R. (2016). Epistemologi Pendidikan Islam: Sistem, Kurikulum, Pembaharuan Dan Upaya Membangun Epistemologi Pendidikan Islam. Almufida: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 1(1).

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Senin, 15 Mei 2023

Internalisasi Nilai-nilai Karakter dalam Budaya Banjaran Pesantren Musthafawiyah Purbabaru (Bagian 2)

Bagian 2: Internalisasi Nilai-nilai dalam Pembentukan Sikap dan Perilaku


Kurikulum dan Sistem Pembelajaran Klasik

Eksplorasi lain terhadap keunggulan Pesantren Musthafawiyah adalah budaya dan pembelajaran kutual-turâth. Budaya Pesantren Musthafawiyah adalah pembelajaran dengan materi bahasa Arab terdiri dari pelajaran al-nawual-sharfal-mafûzhât, dan kitab-kitab klasik berbahasa Arab.

Kegiatan mudhâkarah membentuk keunggulan santri dalam hal komunikasi terutama penguasaan kutub al-turâth. Analisis terhadap kelemahan sistem banjaran adalah disiplin berbahasa, alasannya dalam kehidupan banjar sehari-hari tidak ada pembiasaan terhadap percakapan bahasa Arab. Bahkan, santri yang berasal dari luar Kota Mandailing Natal mampu berbahasa Mandailing setelah dua tahun tinggal di Musthafawiyah.

Kelemahan lain adalah metode pengajaran kitab oleh beberapa komunitas banjar masih menggunakan bahasa daerah. Padahal, mayoritas pondok pesantren sudah mengarah kepada peningkatan bahasa Arab. Idealnya, keterampilan berbahasa Arab akan memudahkan santri dalam penguasaan kitab berbahasa Arab, tidak hanya kutub al-turâth, apabila dilaksanakan, maka nilai-nilai budaya banjaran dapat diimplementasikan dengan sempurna.

Membentuk Sikap dan Perilaku

Pesantren Musthafawiyah menerapkan sistem pembelajaran klasik, sedangkan untuk sistem pengelolaan bersifat integratif. Pola hubungan manusiawi yang terjadi berdampak pada santri memiliki perencanaan yang baik dalam pengelolaan kebutuhan makan mereka. Secara mandiri para santri juga membeli, membangun, merenovasi, dan memperbaiki pondok sendiri. Nilai karakter lain yang dibangun dari hasil identifikasi terhadap kehidupan budaya banjaran adalah santri memiliki motivasi, wirausaha kemandirian, dan daya kreatif. 

Penampakan dari cara berpakaian santri Musthafawiyah adalah sarung, jubah putih, berlobe (berpeci), dan memakai selop/sandal. Sedangkan bagi santri senior dengan pola berpakaian yang sama ditambah jas dan sorban di kepala sebagai penutup lobeBaju koko berwarna putih sebagai lambang sikap kesederhanaan dan kesucian hati, sarung merupakan identitas lokal/tanah air. Lobe putih dan sorban menjaga pikiran agar bersih. Sorban juga berarti penjagaan atas pengetahuan. Sedangkan sandal melambangkan fleksibilitas. Bentuk pakaian tersebut mencirikan santri Musthafawiyah dengan santri lainnya. Analisis terhadap perilaku berpakaian juga membuktikan identitas santri Musthafawiyah yang sederhana dan ikhlas hati.

Interaksi kemasyarakatan yang muncul, di mana penghuni pondok satu dengan lainnya saling berbagi bahan pokok dan bahan makanan. Pelajaran sosial dari interaksi tersebut mengasah empati dan rasa tanggung jawab. Realitas sosial tersebut menjadi gambaran nilai karakter sosial, tanggung jawab, dan empati.

Tempat ibadah merupakan komponen utama sebuah lembaga pendidikan agar disebut pesantren. Selain masjid, dalam budaya banjaran terdapat musala sebagai tempat ibadah, dan pelaksanaan kegiatan lain seperti pengajian, serta pengenalan ritual keagamaan. Aktivitas yang berpusat di tempat ibadah baik masjid maupun musala memberikan nilai karakter religiositas.

Pesantren memiliki alasan terkait kebijakan prasarana. Fasilitas kamar mandi umum belum dipenuhi untuk proses pembelajaran yang sarat akan nilai. Mandi dan mencuci di sungai, mencari di air bersih sela bukit di belakang banjar menjadi fenomena dalam pembentukan karakter keberanian serta ketahanan fisik dan mental.

Pesantren Musthafawiyah tidak menerapkan sistem dapur umum di mana pesantren lain menjadikan dapur umum sebagai salah satu income pendapatan pesantren. Alasan pesantren tidak menyediakan dapur umum adalah agar para santri memahami manajemen waktu. Santri dilatih memasak sendiri atau menanak nasi sebagai pembelajaran bertahan hidup. Selain itu kondisi santri berinteraksi dengan masyarakat membeli lauk mencerminkan karakter kewirausahaan dan kemandirian. Karakter lain yang terbentuk dari fenomena tersebut adalah karakter mandiri, komunikatif, dan pro-sosial.

Aktivitas lain menciptakan nilai kebebasan, kondisi tempat bermukim santri di banjar adalah salah satunya. Tujuannya agar bersifat opsional santri mau tinggal di asrama, pondok, atau indekos di rumah masyarakat atau rumah guru. Kebebasan lain yang diberikan adalah pemilihan guru atau memilih kegiataan mudhâkarah di mana atau kepada guru siapa santri ingin belajar. Situasi tersebut mencerminkan karakter menghargai perbedaan, sikap toleransi, sikap peduli, dan tanggung jawab.

Adapun implementasi fungsi budaya banjaran dilakukan melalui serangkaian tahap yaitu:

  1. Tahap pemahaman “al-istifhâm”, tahap di mana santri memahami perbedaan hal baik dan hal buruk serta menyadarai konsekuensi dari hal tersebut.
  2. Tahap pelaksanaan “al-‘amal”, tahap di mana santri dituntut melaksanakan perilaku baik dan menghindari perilaku buruk tersebut. Dalam hal ini santri perlu melalui tahap adaptasi terhadap peraturan yang dibuat. Pengenalan terhadap standar tertuang dalam disiplin, tata tertib, dan peraturan lainnya. Peraturan dan tata tertib yang dibuat secara formal melatih warga pesantren agar memiliki jiwa disiplin.
  3. Tahap pembiasaan “al-âdah”, tahap di mana nilai-nilai budaya banjaran yang dilaksanakan dan menjadi kebiasaan. Pola tersebut terbentuk setelah santri merasa terpaksa akibat peraturan.
  4. Tahap Kebutuhan “al-âjahtahap di mana santri melaksanaan aktivitas dengan rasa sadar dan keterpanggilan. Kebutuhan akan ilmu dan nilai pesantren yang kemudian membentuk pribadi santri dan sebagai model pengembangan karakter santri.

Hasil penelitian memaparkan identifikasi terhadap nilai budaya banjaran teraplikasi secara efektif melalui pemahaman terhadap perilaku yang terbungkus dalam operasionalisasi kegiatan. Paparan data penelitian menunjukkan beberapa karakter yang terbentuk melalui internalisasi nilai budaya banjaran, yaitu: karakter religiositas, nilai kemandirian, daya kreativitas inovatif, semangat kewirausahaan, keterampilan komunikasi, kompetensi bermasyarakat, kebebasan dan keberanian, ketahanan fisik dan mental, sikap moderat, rasa toleransi, ukhuwah Islamiyah.

Kesimpulan

Model internalisasi budaya banjaran sebagai pembentuk karakter santri Pesantren Musthafawiyah Purbabaru termanifestasikan dalam bentuk fungsionalisasi fungsi manajemen mulai dari perencanaan kegiatan, pengorganisasian program, operasionalisasi kegiatan dan kegiatan evaluasi. Konstruk hasil penelitian mengungkapkan internalisasi nilai budaya banjaran dalam membentuk karakter, pertama; sebagai fasilitator pembentukan sikap sederhana, kreatif inovatif, kemandirian sosial, tanggungjawab, dan empati. Kedua, fasilitator pendukung pembelajaran melalui program self learning dalam kegiatan muâarah (tablig) dan mudhâkarah. Implementasi pengetahuan dan pemahaman juga didapat dari jenjang pendidikan formal; Ketiga; wadah aktualisasi budaya banjaran dalam bentuk organisasi santri. Santri dilatih kepemimpinan dan administrasi; dan Keempat; budaya banjaran menjadi wadah pengembangan religiositas dan kedisiplinan.

Pengamatan terhadap karakter santri Musthafawiyah adalah internalisasi budaya banjaran, antara lain: nilai kemandirian, nilai inovasi dan kreativitas, nilai motivasi kewirausahaan, nilai religiositas, nilai komunikasi, nilai sosial kemasyarakatan, nilai ketahanan mental dan fisik, nilai moderasi yang menghargai perbedaan, nilai toleransi, nilai ukhuwah (persahabatan dan kekeluargaan). Artikulasi nilai budaya banjaran dapat dipraktikkan secara efektif dalam konteks internalisasiInternalisasi budaya banjaran memainkan peran krusial dalam membentuk karakter siswa dan mendorong perkembangan sosial. Dengan membina sikap positif, mendukung pembelajaran, menyediakan pelatihan kepemimpinan dan administrasi, serta memperkuat ketakwaan dan disiplin, budaya banjaran menjadi aset yang tak ternilai dalam membentuk individu yang berkepribadian seimbang. (Admin)


Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Senin, 08 Mei 2023

Internalisasi Nilai-nilai Karakter dalam Budaya Banjaran Pesantren Musthafawiyah Purbabaru

Bagian 1: Internalisasi Nilai-nilai Identitas Pembeda, Komitmen Bersama, dan Stabilitas Sitem Sosial

Pendahuluan
Budaya banjaran (asrama santri dalam wujud pondok/gubuk), yang terkenal dengan kekayaan pengetahuan dan tradisinya telah lama dihormati karena potensinya dalam membentuk individu santri secara positif. Studi ini menggali proses internalisasi budaya banjaran dan dampaknya terhadap perkembangan karakter santri Pesantren Musthafawiyah Purbabaru Kabupaten Mandailing Natal. Dengan memahami bagaimana nilai-nilai budaya diserap dan diintegrasikan ke dalam kehidupan santri, maka akan didapati wawasan tentang bagaimana warisan budaya ini berkontribusi pada masyarakat luas.

Pesantren Musthafawiyah, yang didirikan tahun 1912 menjadi pelopor pendidikan di Sumatera Utara. Pesantren ini berhasil melahirkan tokoh-tokoh penting seperti Syekh Mustafa Husein Nasution, Syekh Abdul Halim Khatib, dan Syekh Ali Hasan Ahmad ad-Dary yang banyak memberikan kontribusi terhadap pembangunan bangsa. Nilai-nilai pendidikan tidak dapat dipisahkan dari budaya banjaran yang terinternalisasi di dalam sarana tempat tinggal para santri yang lazim disebut dengan banjar. Studi ini menunjukkan bahwa banjar sebagai tempat siswa laki-laki tinggal adalah salah satu karakteristik yang melekat pada Pesantren Musthafawiyah Purbabaru. Budaya banjaran bahkan menjadi faktor penentu utama dalam pendidikan karakter santri. Dalam istilah Pulungan, Pesantren Musthafawiyah Purbabaru menjadi bagian dari sistem yang berfungsi sebagai pelindung, motivator, dan inisiator untuk mewujudkan kehidupan beragama yang mengedapankan akhlakul karimah.

Budaya banjaran berfokus pada nilai-nilai yang mempengaruhi karakter siswa dalam periode tertentu, dimana sikap yang terbangun erat kaitannya dengan ketulusan, kemandirian, komunikasi, kesederhanaan, kebebasan, dan kewirausahaan. Interpretasi nilai-nilai ini dilakukan melalui tindakan observasi, analisis, pemaknaan, eksplorasi fungsi dan pelestarian budaya banjaran secara internal dan eksternal.

Banjar adalah bangunan yang berderet, merupakan bangunan berbentuk rumah yang dijadikan tempat tinggal oleh para santri ketika menuntut ilmu di pesantren. Banjar memiliki konsep bangunan rumah mini, standar tempat tinggal berukuran 3x3 m. Banjar dibuat dengan menggunakan kayu/papan dan memiliki atap seng atau rumbia. Banjar secara sederhana berbentuk rumah panggung minimalis yang memiliki banyak fungsi serta makna filosofis.

Akulturasi Nilai Budaya Banjaran dalam Pembentukan Perilaku

Budaya banjaran menjadi sebuah bagian dari karakteristik Pesantren Musthafawiyah. Pemahaman terhadap nilai budaya banjaran bersifat jangka panjang. Pengamatan terhadap karakter santri melalui internalisasi budaya banjaran antara lain mewujud dalam nilai kemandirian, nilai inovasi dan kreativitas, nilai motivasi kewirausahaan, nilai religiositas, nilai komunikasi, nilai sosial kemasyarakatan, nilai ketahanan mental dan fisik, nilai moderasi yang menghargai perbedaan, nilai toleransi, dan nilai ukhuwah (persahabatan dan kekeluargaan).

Peranan budaya banjaran dalam membentuk karakter santri diamati melalui sistem pengelolaan pesantren yang dapat diamati melalui analisis sistem-proses-output. Analisis terhadap input dimulai dari sistem penerimaan, yang dalam hal ini pesantren bertahan dengan standar lembaga, di mana santri baru yang diterima adalah semua calon santri yang mendaftar dan telah mengikuti pemetaan kemampuan membaca Al-Qur’an. Penerimaan santri lebih tepat dikatakan sebagai ajang pemetaan santri baru. Semua santri yang mempunyai niat belajar yang dibuktikan dengan mendaftar dan mengikuti proses pemetaan akan diterima sebagai peserta didik. Santri baru juga diberi kebebasan dalam menentukan tempat tinggal hingga memilih banjar. Banjar yang dijadikan tempat tinggal para santri putra dapat dibeli melalui alumni, membuat pondok baru atau indekos di rumah masyarakat dan rumah guru.

Orientasi nilai pesantren mangarah kepada pembentukan dan penanaman nilai kemandirian, kewirausahaan, dan religiositas. Aspek nilai kemandirian terbentuk secara sistematis terbentuk melalui pola kegiatan harian, antara lain: santri belajar kreatif dalam merawat dan merenovasi banjarnya masing-masing.

Santri dituntut memiliki jiwa kewirausahaan, hal ini tergambar dari interaksi santri dengan masyarakat dalam mengelola kebutuhan makan mereka dengan berbelanja kebutuhan pokok di warung-warung masyakat sekitar dan juga dalam masalah sewa tanah. Santri juga melakukan interaksi dengan santri lainnya dan alumni dalam hal jual beli banjar. Prosedur pembelian banjar dapat melalui pihak pesantren, santri senior, atau alumni yang sudah tamat. Penggambaran terhadap fenomena tersebut adalah nilai komunikasi, solidaritas, dan tolong-menolong.

Sedangkan tinjauan terhadap aspek religiositas antara lain menjadikan masjid/musala sebagai sentra kegiatan, baik kegiatan formal atau informal, kegiatan besar atau kecil. Keberadaan pesantren di tengah masyarakat juga berfungsi sebagai pelindung. 

Internalisasi dan Fungsi Budaya Banjaran

1. Identitas Pembeda

Bangunan banjar di Pondok Musthafawiyah berbentuk rumah panggung dan berbahan kayu/papan dan seng. Media untuk penerang banjar menggunakan bohlam, dan bahkan beberapa banjar diterangi lampu teplok. Aksesoris banjar menggunakan partisi yang sederhana beralaskan tikar dan lemari buku seadanya. Para santri, meskipun (terbatas) telah tersedia fasilatas Mandi-Cuci-Kakus lebih memilih sungai sebagai tempat mereka melaksanakan aktivitas mencuci dan mandi. Sementara untuk mendapatkan air bersih, tidak jarang mereka pergi ke celah bukit. Realitas tersebut menggambarkan kehidupan santri yang sederhana, mandiri, dan gigih.

Para santri Pesantren Musthafawiyah dikenal juga dengan panggilan pokir yang berarti ‘fakir’. Kata fakir mengisyaratkan orang yang miskin ilmu sehingga dengan rasa sadar dan keterpanggilan hati berusaha untuk membuat diri menjadi ‘kaya’ dengan menambah dan menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya di pesantren. Pemaknaan atas sebutan pokir tersebut menggambarkan nilai sederhana, rendah hati, suci jiwa, namun antusi dalam thalabul ‘ilmi.

Identifikasi pada atribut, para santri cenderung mengikuti mode berpakaian ulama-ulama setempat dengan memakai jubah, kemeja putih/baju koko, sarung, lobe (songkok), sorban, dan sandal dalam segala kegiatan baik yang bersifat formal dan nonformal yang dalam penelitian Daulay dkk. atribut pakaian ini dikatakan sebagai budaya fisik. Hal ini dapat menggambarkan nilai-nilai kesederhanaan, cinta dan ta’zhîm terhadap ulama, menjaga ilmu yang dimiliki, dan menjaga kesucian jiwa.

Untuk tempat tinggal, santri memiliki kebebasan dalam memilih tinggal di asrama, indekos atau membeli banjar yang kemudian dikreasikan dengan melakukan perawatan atau menambah partisi dan menjadikan kolong banjar sebagai tempat penyimpanan barang-barang bawaan santri. Santri juga memiliki kebebasan untuk mengikuti kegiatan mudhâkarah. Bebas di sini diartikan, bebas memilih kepada guru mana dan kegiatan apa dalam mudhâkarahRutinitas harian santri selain mengikuti mudhâkarah adalah pemanfaatkan waktu siang dan sore hari untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai minat masing-masing. Selain itu santri juga diberi kebebasan untuk beraktivitas mandiri seperti mencuci atau istirahat. Nilai yang tergambar dari fenomena aktivitas harian santri tersebut adalah kemerdekaan, sikap tanggung jawab, dan sikap jujur.

Para santri Musthafawiyah berasal dari berbagai macam daerah dengan suku yang beragam dan dari jenjang pendidikan serta kelas yang berbeda. Data tersebut menciptakan nilai-nilai karakter toleransi, kesetaraan, dan ukhuwah. Penelitian yang dilakukan Raihani, Parker et all. mengungkapkan bahwa model kepemimpinan demokratis menjadi upaya dalam menciptakan lingkungan pesantren yang toleran dan multikultural.

2. Komitmen Bersama

Pesantren sarat akan aktivitas kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran hidup. Nilai-nilai Islam termanifestasikan dalam kegiatan sorogan, pengajian, dan aktivitas ekstrakurikuler lainnya. Bentuk kegiatan bersifat pembangkit semangat dalam bentuk: a) pemberian gaji (ujrah)  tepat waktu; b) kebijakan bermusyawarah atau melibatkan anggota dalam pembentukan keputusan strategis; c) melaksanakan fungsi delegatif; d) melaksanakan pemberian tanggung jawab/peran; dan e) optimalisasi skill dengan aktivitas yang mendayagunakan keterampilan. Nilai karekter yang dihasilkan adalah rasa memiliki yang kuat (al-Ta’ashshub) dan nilai semangat kerja.

Operasionalisasi kegiatan juga dilakukan dengan pengorganisasian yang melibatkan para ustaz dan para santri senior dalam pola pengawasan banjar: Adapun bentuk operasionalisasi tersebut adalah:

  • Pembentukan koordinator guru berasal guru-guru senior.
  • Pembentukan jadwal supervisi guru junior di malam hari.
  • Pembentukan organisasi santri yang disebut Dewan Pelajar Musthafawiyah. Organisasi santri tersebut juga merupakan perpanjangan kewenangan guru.
  • Pembentukan Persatuan Keluarga Besar Musthafawiyah, disebut juga pengurus banjar.
  • Terdapat sistem ‘abang asuh’, yaitu penempatan santri senior pada setiap banjar yang berfungsi sebagai pembimbing santri-santri junior.

3. Stabilitas Sistem Sosial

Pesantren Mushafawiyah memiliki santri yang berasal dari daerah dan asal suku yang berbeda. Kondisi heterogen tersebut menciptakan karakter dengan nilai Pancasila yaitu Bhineka Tunggal Ika, di mana perbedaan suku, bahasa, dan latar belakang justru dijadikan alat mencapai kesamaan, yaitu visi dan misi Pesantren Musthafawiyah. Pesantren menerapkan sistem pengawasan abang senior yang ditempatkan pada banjar sebagai abang asuh untuk membimbing anggotanya.

Manajemen banjar yang dilaksanakan Musthafawiyah adalah membagi pondok santri ke dalam 29 banjar yang menggambarkan miniatur perkampungan. Setiap banjar memiliki jumlah yang berbeda antara 20 hingga maksimal 150 pondok dan setiap pondok dihuni oleh 2 sampai 4 orang santri. Komunitas banjar memiliki perangkat kepengurusan terdiri dari ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris, bagian ketertiban. Kepengurusan banjar di bawah binaan dan pengawasan Dewan Pelajar (Depel) Musthafawiyah. Selain perangkat banjar dan Dewan Pelajar juga terdapat komunitas Keluarga Besar Musthafawiyah (KBM) yang beranggotakan santri-santri yang berasal dari daerah asal yang sama, seperti KBM Deli Serdang, Padang, dan lain-lain. KBM juga memiliki fungsi sebagai lembaga pengawas dan pembimbing santri.

Secara eksplisit, pola manajemen yang diterapkan Pesantren Musthafawiyah berangkat dari penggabungan dua konsep, antara konsep pesantren dengan manajemen berorientasi terhadap penanaman jiwa keikhlasan (tulus), sukarela yang dalam Islam dikenal dengan istilah “lillāhi ta’ālā. Integrasi konsep tersebut merupakan bentuk akomodatif pesantren terhadap perkembangan global saat ini. Konsep tradisional tersebut tetap menjadi modal dasar yang dilapisi dengan profesionalisme sehingga membentuk kombinasi ideal yang utuh, yaitu idealisme-profesionalisme.

Perilaku profesional ditunjukkan guru melalui tanggung jawab dalam pembinaan santri, sementara idealisme ditunjukkan melalui nilai kultur banjaran yang sudah bertahan selama kurun satu abad lebih. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Adawiyah dan Osman Ghani et. all. menyatakan, bahwa perilaku yang mencerminkan spirit keislaman terbukti mampu membentuk perilaku profesional dan meningkatkan kinerja organisasi. (Admin)


Disadur dari:

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Ikuti Channel YouTube

Connect