Kamis, 26 Juni 2025
Minggu, 04 Mei 2025
Alumni Sambut Hangat Kunjungan Pimpinan Pesantren Darul Arafah Raya: Menjalin Ukhuwah, Menguatkan Sinergi, Menebar Manfaat
Rabu, 06 November 2024
Study Tour Kelas Sains Unggulan Pesantren Darularafah Raya: Pembelajaran Nyata di IPAM Sunggal dan OIF UMSU
- Refleksi dan Diskusi Kelompok: Sepulang dari study tour, para santri akan mengikuti sesi refleksi bersama untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan baru yang mereka dapatkan. Pembimbing akan memandu diskusi tentang hal-hal yang menarik atau mengesankan, serta bagaimana ilmu tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan mereka. Kegiatan ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman santri dan membantu mereka menghubungkan antara teori dan praktik.
- Pelatihan Presentasi dan Publikasi: Para santri juga akan diberi kesempatan untuk mempersiapkan presentasi yang akan disampaikan kepada teman-teman di kelas lain. Melalui kegiatan ini, mereka tidak hanya mempraktikkan ilmu sains, tetapi juga mengasah keterampilan komunikasi dan presentasi. Jika memungkinkan, hasil study tour ini bisa dituangkan dalam bentuk artikel atau laporan singkat untuk dipublikasikan di website pesantren atau di media sosial, sehingga pengalaman ini juga bisa menginspirasi santri lainnya.
Minggu, 27 Oktober 2024
Temu Kangen Alumni Latas-Al Dyah Galih Agung: "Merajut Kenangan, Membangun Silaturrahmi" di Pesantren Darularafah Raya
Jumat, 04 Oktober 2024
Dayah Ulumuddin Melaksanakan Workshop Optimalisasi Kompetensi Guru Dayah: Mewujudkan Pendidik yang Siap Menghadapi Merdeka Belajar
Kamis, 11 Juli 2024
Workshop Manajemen Konflik Guru Pesantren Terpadu Almuslim: Mengelola Konflik di Lingkungan Institusi dan Asrama Santri
- Para peserta merasa mendapatkan banyak wawasan baru tentang manajemen konflik. Mereka belajar bahwa tidak semua konflik berdampak negatif; dengan pengelolaan yang tepat, konflik bisa menjadi hal positif. Peserta juga memahami pentingnya menyikapi konflik sebagai tantangan yang memerlukan teori dan pengalaman yang memadai.
- Bagian paling menarik dari workshop adalah penggunaan media pembelajaran berupa ringkasan materi (ppt) yang dapat diakses melalui website, serta strategi terbaik dalam mengidentifikasi konflik. Penyelesaian konflik dibahas mendalam, termasuk cara mendengar dan memberikan kesempatan santri menyampaikan pandangan mereka. Kesempatan belajar dari para ahli yang menyampaikan materi dengan gaya humoris, ramah, dan jelas juga menambah daya tarik workshop ini.
- Sejauh ini, peserta merasa tidak ada konsep atau topik yang sulit dipahami. Semua materi dapat dipahami dengan baik.
- Workshop ini memberikan banyak informasi baru yang mengubah pandangan peserta. Mereka belajar bahwa kegiatan orientasi dalam manajemen konflik di pesantren sangat penting. Sikap yang baik dalam penanganan masalah konflik dan contoh-contoh nyata di pesantren juga menjadi pengetahuan berharga. Pandangan peserta tentang pola asuh yang baik dan perhatian terhadap mereka yang tidak terlibat dalam konflik juga meningkat.
- Untuk memperdalam pemahaman, peserta berencana melakukan mini riset untuk memastikan implementasi teori manajemen konflik di pesantren. Mereka akan memahami konflik secara detail, mengoreksi diri dalam menangani konflik, mengamalkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, dan melengkapi pengetahuan dengan kajian empiris dan referensi terkait. Membaca jurnal, buku, dan mencari rujukan di media sosial juga menjadi langkah yang akan diambil.
Jumat, 19 April 2024
Model Transmisi Ilmu dan Karakter di Dayah Darul Abrar Blang Reuling, Aceh
- Fiqh: Matan Ghayah wa Taqrib, Mathal al-Badri, Al-Bajuri, I’anat al-Thalibin jilid 1–2.
- Sharaf: Dhammon, Kailani, Matan Bina.
- Nahu: Takhrir al-Aqwal, Al-Jurumiyah, Mutammimah al-Jurumiyah.
- Tasawuf: Adab al-Insan, Taisir al-Khalaq, Ta’lim al-Muta’allim.
- Ilmu rumah tangga (santriwati): Uqud al-Lujain.
- Tarikh: Riwayat Nabi, Khulasah jilid 1–2.
- Tauhid: Aqidah Islamiyah, Tijan ad-Durar, Kifayah al-Awwam.
- Hadis: Arba’in Nawawi.
- Fiqh: I’anat al-Thalibin jilid 3–4, Syarqawi ‘ala Tahrir, Al-Mahalli.
- Nahu: Athar Azhari.
- Sharaf: Silsilah al-Madkhal.
- Tasawuf: Ta’lim al-Muta’allim, Al-Muraqi.
- Tafsir: Tafsir Jalalain.
- Ushul Fiqh: An-Nufahat.
- Mantiq: Izah al-Mubham.
- Bayan: Majmu’ Khamsin.
- Hadis: Musthalah Hadis.
- Ilmu rumah tangga: Uqud al-Lujain.
- Tarikh: Khulasah jilid 3.
- Tauhid: Kifayat al-Awwam, Hudhudi.
Jumat, 08 Maret 2024
Model Pendidikan Integratif di Ma’had Ta’limul Qur’an Utsman bin Affan, Aceh
- Tafsir: Mukhtasar Rawai’ul Bayan
- Tauhid: Kifayatul ‘Awam
- Fiqih: Hasyiyah al-Bajuri
- Ulumul Hadits: Taisir Musthalah al-Hadits
- Ulumul Qur’an: Mukhtasar Manahil al-‘Irfan
- Ushul Fiqih: Mabadi Awaliyah
- Bahasa Arab: Kawakib Durriyah Syarh Mutammimah al-Jurumiyyah
- Sabaq: hafalan baru yang disetor harian
- Sabqi: mengulang hafalan sebelumnya agar tetap terjaga
- Manzil: menggabungkan semua hafalan untuk menjaga konsistensi
Jumat, 12 Januari 2024
Dayah dan Transmisi Ilmu-ilmu Keislaman di Aceh: Studi Kasus di Dayah Keumaral Al-Aziziyah
- Halaqah: Diskusi ilmiah dalam kelompok kecil yang melibatkan guru dan santri. Melalui halaqah, santri tidak hanya menerima materi secara pasif, tetapi juga aktif bertanya dan menanggapi.
- Sorogan: Santri membaca kitab langsung di hadapan guru. Guru kemudian mengoreksi, memperbaiki, dan meluruskan pemahaman bacaan, sehingga tercipta proses belajar individual yang mendalam.
- Bandongan: Guru membaca dan menerangkan isi kitab kuning kepada santri, sementara santri mendengar dan mencatat poin penting sebagai bekal pengkajian lebih lanjut.
- Pengamalan sosial: Santri diajak untuk menghidupkan nilai-nilai Islam dalam keseharian melalui kegiatan ibadah berjemaah, gotong royong, hingga bakti sosial di lingkungan sekitar.
- Metode-metode ini sesuai dengan penjelasan Dhofier (2011), bahwa inti pendidikan pesantren dan dayah terletak pada hubungan guru-murid yang erat dan pola pembelajaran yang partisipatif, sehingga ilmu tidak hanya dipahami secara teks, tetapi juga dihidupkan dalam perilaku.
- Ghayah wat-Taqrib (fikih)
- al-Ajurrumiyyah (nahwu)
- al-Amtitsal at-Tashrifiyyah (sharaf)
- Aqidah Islamiyah, Khamsatun Mautun (tauhid)
- Ta'lim al-Muta’allim (tasawuf)
- Sullam al-Munawraq (mantiq)
- Matan Arba'in (hadis)
- Nurul Yaqin (sirah Nabawiyah)
- I'anatuth Thalibin (fikih)
- Alfiyah Ibn Malik dan al-Kawakib ad-Durriyah (nahwu)
- Kailani (sharaf)
- Matlub dan Kifayat al-Awam (tauhid)
- Idhah al-Mubham (mantiq)
- al-Majalis as-Saniyyah (hadis)
Senin, 15 Mei 2023
Internalisasi Nilai-nilai Karakter dalam Budaya Banjaran Pesantren Musthafawiyah Purbabaru (Bagian 2)
Eksplorasi lain terhadap keunggulan Pesantren Musthafawiyah adalah budaya dan pembelajaran kutub al-turâth. Budaya Pesantren Musthafawiyah adalah pembelajaran dengan materi bahasa Arab terdiri dari pelajaran al-naḥwu, al-sharf, al-maḥfûzhât, dan kitab-kitab klasik berbahasa Arab.
Kegiatan mudhâkarah membentuk keunggulan santri dalam hal komunikasi terutama penguasaan kutub al-turâth. Analisis terhadap kelemahan sistem banjaran adalah disiplin berbahasa, alasannya dalam kehidupan banjar sehari-hari tidak ada pembiasaan terhadap percakapan bahasa Arab. Bahkan, santri yang berasal dari luar Kota Mandailing Natal mampu berbahasa Mandailing setelah dua tahun tinggal di Musthafawiyah.
Kelemahan lain adalah metode pengajaran kitab oleh beberapa komunitas banjar masih menggunakan bahasa daerah. Padahal, mayoritas pondok pesantren sudah mengarah kepada peningkatan bahasa Arab. Idealnya, keterampilan berbahasa Arab akan memudahkan santri dalam penguasaan kitab berbahasa Arab, tidak hanya kutub al-turâth, apabila dilaksanakan, maka nilai-nilai budaya banjaran dapat diimplementasikan dengan sempurna.
Membentuk Sikap dan Perilaku
Pesantren Musthafawiyah menerapkan sistem pembelajaran klasik, sedangkan untuk sistem pengelolaan bersifat integratif. Pola hubungan manusiawi yang terjadi berdampak pada santri memiliki perencanaan yang baik dalam pengelolaan kebutuhan makan mereka. Secara mandiri para santri juga membeli, membangun, merenovasi, dan memperbaiki pondok sendiri. Nilai karakter lain yang dibangun dari hasil identifikasi terhadap kehidupan budaya banjaran adalah santri memiliki motivasi, wirausaha kemandirian, dan daya kreatif.
Penampakan dari cara berpakaian santri Musthafawiyah adalah sarung, jubah putih, berlobe (berpeci), dan memakai selop/sandal. Sedangkan bagi santri senior dengan pola berpakaian yang sama ditambah jas dan sorban di kepala sebagai penutup lobe. Baju koko berwarna putih sebagai lambang sikap kesederhanaan dan kesucian hati, sarung merupakan identitas lokal/tanah air. Lobe putih dan sorban menjaga pikiran agar bersih. Sorban juga berarti penjagaan atas pengetahuan. Sedangkan sandal melambangkan fleksibilitas. Bentuk pakaian tersebut mencirikan santri Musthafawiyah dengan santri lainnya. Analisis terhadap perilaku berpakaian juga membuktikan identitas santri Musthafawiyah yang sederhana dan ikhlas hati.
Interaksi kemasyarakatan yang muncul, di mana penghuni pondok satu dengan lainnya saling berbagi bahan pokok dan bahan makanan. Pelajaran sosial dari interaksi tersebut mengasah empati dan rasa tanggung jawab. Realitas sosial tersebut menjadi gambaran nilai karakter sosial, tanggung jawab, dan empati.
Tempat ibadah merupakan komponen utama sebuah lembaga pendidikan agar disebut pesantren. Selain masjid, dalam budaya banjaran terdapat musala sebagai tempat ibadah, dan pelaksanaan kegiatan lain seperti pengajian, serta pengenalan ritual keagamaan. Aktivitas yang berpusat di tempat ibadah baik masjid maupun musala memberikan nilai karakter religiositas.
Pesantren memiliki alasan terkait kebijakan prasarana. Fasilitas kamar mandi umum belum dipenuhi untuk proses pembelajaran yang sarat akan nilai. Mandi dan mencuci di sungai, mencari di air bersih sela bukit di belakang banjar menjadi fenomena dalam pembentukan karakter keberanian serta ketahanan fisik dan mental.
Pesantren Musthafawiyah tidak menerapkan sistem dapur umum di mana pesantren lain menjadikan dapur umum sebagai salah satu income pendapatan pesantren. Alasan pesantren tidak menyediakan dapur umum adalah agar para santri memahami manajemen waktu. Santri dilatih memasak sendiri atau menanak nasi sebagai pembelajaran bertahan hidup. Selain itu kondisi santri berinteraksi dengan masyarakat membeli lauk mencerminkan karakter kewirausahaan dan kemandirian. Karakter lain yang terbentuk dari fenomena tersebut adalah karakter mandiri, komunikatif, dan pro-sosial.
Aktivitas lain menciptakan nilai kebebasan, kondisi tempat bermukim santri di banjar adalah salah satunya. Tujuannya agar bersifat opsional santri mau tinggal di asrama, pondok, atau indekos di rumah masyarakat atau rumah guru. Kebebasan lain yang diberikan adalah pemilihan guru atau memilih kegiataan mudhâkarah di mana atau kepada guru siapa santri ingin belajar. Situasi tersebut mencerminkan karakter menghargai perbedaan, sikap toleransi, sikap peduli, dan tanggung jawab.
Adapun implementasi fungsi budaya banjaran dilakukan melalui serangkaian tahap yaitu:
- Tahap pemahaman “al-istifhâm”, tahap di mana santri memahami perbedaan hal baik dan hal buruk serta menyadarai konsekuensi dari hal tersebut.
- Tahap pelaksanaan “al-‘amal”, tahap di mana santri dituntut melaksanakan perilaku baik dan menghindari perilaku buruk tersebut. Dalam hal ini santri perlu melalui tahap adaptasi terhadap peraturan yang dibuat. Pengenalan terhadap standar tertuang dalam disiplin, tata tertib, dan peraturan lainnya. Peraturan dan tata tertib yang dibuat secara formal melatih warga pesantren agar memiliki jiwa disiplin.
- Tahap pembiasaan “al-âdah”, tahap di mana nilai-nilai budaya banjaran yang dilaksanakan dan menjadi kebiasaan. Pola tersebut terbentuk setelah santri merasa terpaksa akibat peraturan.
- Tahap Kebutuhan “al-ḥâjah, tahap di mana santri melaksanaan aktivitas dengan rasa sadar dan keterpanggilan. Kebutuhan akan ilmu dan nilai pesantren yang kemudian membentuk pribadi santri dan sebagai model pengembangan karakter santri.
Hasil penelitian memaparkan identifikasi terhadap nilai budaya banjaran teraplikasi secara efektif melalui pemahaman terhadap perilaku yang terbungkus dalam operasionalisasi kegiatan. Paparan data penelitian menunjukkan beberapa karakter yang terbentuk melalui internalisasi nilai budaya banjaran, yaitu: karakter religiositas, nilai kemandirian, daya kreativitas inovatif, semangat kewirausahaan, keterampilan komunikasi, kompetensi bermasyarakat, kebebasan dan keberanian, ketahanan fisik dan mental, sikap moderat, rasa toleransi, ukhuwah Islamiyah.
Kesimpulan
Model internalisasi budaya banjaran sebagai pembentuk karakter santri Pesantren Musthafawiyah Purbabaru termanifestasikan dalam bentuk fungsionalisasi fungsi manajemen mulai dari perencanaan kegiatan, pengorganisasian program, operasionalisasi kegiatan dan kegiatan evaluasi. Konstruk hasil penelitian mengungkapkan internalisasi nilai budaya banjaran dalam membentuk karakter, pertama; sebagai fasilitator pembentukan sikap sederhana, kreatif inovatif, kemandirian sosial, tanggungjawab, dan empati. Kedua, fasilitator pendukung pembelajaran melalui program self learning dalam kegiatan muḥâḍarah (tablig) dan mudhâkarah. Implementasi pengetahuan dan pemahaman juga didapat dari jenjang pendidikan formal; Ketiga; wadah aktualisasi budaya banjaran dalam bentuk organisasi santri. Santri dilatih kepemimpinan dan administrasi; dan Keempat; budaya banjaran menjadi wadah pengembangan religiositas dan kedisiplinan.
Senin, 08 Mei 2023
Internalisasi Nilai-nilai Karakter dalam Budaya Banjaran Pesantren Musthafawiyah Purbabaru
Akulturasi Nilai Budaya Banjaran dalam Pembentukan Perilaku
Budaya banjaran menjadi sebuah bagian dari karakteristik Pesantren Musthafawiyah. Pemahaman terhadap nilai budaya banjaran bersifat jangka panjang. Pengamatan terhadap karakter santri melalui internalisasi budaya banjaran antara lain mewujud dalam nilai kemandirian, nilai inovasi dan kreativitas, nilai motivasi kewirausahaan, nilai religiositas, nilai komunikasi, nilai sosial kemasyarakatan, nilai ketahanan mental dan fisik, nilai moderasi yang menghargai perbedaan, nilai toleransi, dan nilai ukhuwah (persahabatan dan kekeluargaan).
Peranan budaya banjaran dalam membentuk karakter santri diamati melalui sistem pengelolaan pesantren yang dapat diamati melalui analisis sistem-proses-output. Analisis terhadap input dimulai dari sistem penerimaan, yang dalam hal ini pesantren bertahan dengan standar lembaga, di mana santri baru yang diterima adalah semua calon santri yang mendaftar dan telah mengikuti pemetaan kemampuan membaca Al-Qur’an. Penerimaan santri lebih tepat dikatakan sebagai ajang pemetaan santri baru. Semua santri yang mempunyai niat belajar yang dibuktikan dengan mendaftar dan mengikuti proses pemetaan akan diterima sebagai peserta didik. Santri baru juga diberi kebebasan dalam menentukan tempat tinggal hingga memilih banjar. Banjar yang dijadikan tempat tinggal para santri putra dapat dibeli melalui alumni, membuat pondok baru atau indekos di rumah masyarakat dan rumah guru.
Orientasi nilai pesantren mangarah kepada pembentukan dan penanaman nilai kemandirian, kewirausahaan, dan religiositas. Aspek nilai kemandirian terbentuk secara sistematis terbentuk melalui pola kegiatan harian, antara lain: santri belajar kreatif dalam merawat dan merenovasi banjarnya masing-masing.
Santri dituntut memiliki jiwa kewirausahaan, hal ini tergambar dari interaksi santri dengan masyarakat dalam mengelola kebutuhan makan mereka dengan berbelanja kebutuhan pokok di warung-warung masyakat sekitar dan juga dalam masalah sewa tanah. Santri juga melakukan interaksi dengan santri lainnya dan alumni dalam hal jual beli banjar. Prosedur pembelian banjar dapat melalui pihak pesantren, santri senior, atau alumni yang sudah tamat. Penggambaran terhadap fenomena tersebut adalah nilai komunikasi, solidaritas, dan tolong-menolong.
Sedangkan tinjauan terhadap aspek religiositas antara lain menjadikan masjid/musala sebagai sentra kegiatan, baik kegiatan formal atau informal, kegiatan besar atau kecil. Keberadaan pesantren di tengah masyarakat juga berfungsi sebagai pelindung.
Internalisasi dan Fungsi Budaya Banjaran
1. Identitas Pembeda
Bangunan banjar di Pondok Musthafawiyah berbentuk rumah panggung dan berbahan kayu/papan dan seng. Media untuk penerang banjar menggunakan bohlam, dan bahkan beberapa banjar diterangi lampu teplok. Aksesoris banjar menggunakan partisi yang sederhana beralaskan tikar dan lemari buku seadanya. Para santri, meskipun (terbatas) telah tersedia fasilatas Mandi-Cuci-Kakus lebih memilih sungai sebagai tempat mereka melaksanakan aktivitas mencuci dan mandi. Sementara untuk mendapatkan air bersih, tidak jarang mereka pergi ke celah bukit. Realitas tersebut menggambarkan kehidupan santri yang sederhana, mandiri, dan gigih.
Para santri Pesantren Musthafawiyah dikenal juga dengan panggilan pokir yang berarti ‘fakir’. Kata fakir mengisyaratkan orang yang miskin ilmu sehingga dengan rasa sadar dan keterpanggilan hati berusaha untuk membuat diri menjadi ‘kaya’ dengan menambah dan menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya di pesantren. Pemaknaan atas sebutan pokir tersebut menggambarkan nilai sederhana, rendah hati, suci jiwa, namun antusi dalam thalabul ‘ilmi.
Identifikasi pada atribut, para santri cenderung mengikuti mode berpakaian ulama-ulama setempat dengan memakai jubah, kemeja putih/baju koko, sarung, lobe (songkok), sorban, dan sandal dalam segala kegiatan baik yang bersifat formal dan nonformal yang dalam penelitian Daulay dkk. atribut pakaian ini dikatakan sebagai budaya fisik. Hal ini dapat menggambarkan nilai-nilai kesederhanaan, cinta dan ta’zhîm terhadap ulama, menjaga ilmu yang dimiliki, dan menjaga kesucian jiwa.
Untuk tempat tinggal, santri memiliki kebebasan dalam memilih tinggal di asrama, indekos atau membeli banjar yang kemudian dikreasikan dengan melakukan perawatan atau menambah partisi dan menjadikan kolong banjar sebagai tempat penyimpanan barang-barang bawaan santri. Santri juga memiliki kebebasan untuk mengikuti kegiatan mudhâkarah. Bebas di sini diartikan, bebas memilih kepada guru mana dan kegiatan apa dalam mudhâkarah. Rutinitas harian santri selain mengikuti mudhâkarah adalah pemanfaatkan waktu siang dan sore hari untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai minat masing-masing. Selain itu santri juga diberi kebebasan untuk beraktivitas mandiri seperti mencuci atau istirahat. Nilai yang tergambar dari fenomena aktivitas harian santri tersebut adalah kemerdekaan, sikap tanggung jawab, dan sikap jujur.
Para santri Musthafawiyah berasal dari berbagai macam daerah dengan suku yang beragam dan dari jenjang pendidikan serta kelas yang berbeda. Data tersebut menciptakan nilai-nilai karakter toleransi, kesetaraan, dan ukhuwah. Penelitian yang dilakukan Raihani, Parker et all. mengungkapkan bahwa model kepemimpinan demokratis menjadi upaya dalam menciptakan lingkungan pesantren yang toleran dan multikultural.
2. Komitmen Bersama
Pesantren sarat akan aktivitas kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran hidup. Nilai-nilai Islam termanifestasikan dalam kegiatan sorogan, pengajian, dan aktivitas ekstrakurikuler lainnya. Bentuk kegiatan bersifat pembangkit semangat dalam bentuk: a) pemberian gaji (ujrah) tepat waktu; b) kebijakan bermusyawarah atau melibatkan anggota dalam pembentukan keputusan strategis; c) melaksanakan fungsi delegatif; d) melaksanakan pemberian tanggung jawab/peran; dan e) optimalisasi skill dengan aktivitas yang mendayagunakan keterampilan. Nilai karekter yang dihasilkan adalah rasa memiliki yang kuat (al-Ta’ashshub) dan nilai semangat kerja.
Operasionalisasi kegiatan juga dilakukan dengan pengorganisasian yang melibatkan para ustaz dan para santri senior dalam pola pengawasan banjar: Adapun bentuk operasionalisasi tersebut adalah:
- Pembentukan koordinator guru berasal guru-guru senior.
- Pembentukan jadwal supervisi guru junior di malam hari.
- Pembentukan organisasi santri yang disebut Dewan Pelajar Musthafawiyah. Organisasi santri tersebut juga merupakan perpanjangan kewenangan guru.
- Pembentukan Persatuan Keluarga Besar Musthafawiyah, disebut juga pengurus banjar.
- Terdapat sistem ‘abang asuh’, yaitu penempatan santri senior pada setiap banjar yang berfungsi sebagai pembimbing santri-santri junior.
3. Stabilitas Sistem Sosial
Pesantren Mushafawiyah memiliki santri yang berasal dari daerah dan asal suku yang berbeda. Kondisi heterogen tersebut menciptakan karakter dengan nilai Pancasila yaitu Bhineka Tunggal Ika, di mana perbedaan suku, bahasa, dan latar belakang justru dijadikan alat mencapai kesamaan, yaitu visi dan misi Pesantren Musthafawiyah. Pesantren menerapkan sistem pengawasan abang senior yang ditempatkan pada banjar sebagai abang asuh untuk membimbing anggotanya.
Manajemen banjar yang dilaksanakan Musthafawiyah adalah membagi pondok santri ke dalam 29 banjar yang menggambarkan miniatur perkampungan. Setiap banjar memiliki jumlah yang berbeda antara 20 hingga maksimal 150 pondok dan setiap pondok dihuni oleh 2 sampai 4 orang santri. Komunitas banjar memiliki perangkat kepengurusan terdiri dari ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris, bagian ketertiban. Kepengurusan banjar di bawah binaan dan pengawasan Dewan Pelajar (Depel) Musthafawiyah. Selain perangkat banjar dan Dewan Pelajar juga terdapat komunitas Keluarga Besar Musthafawiyah (KBM) yang beranggotakan santri-santri yang berasal dari daerah asal yang sama, seperti KBM Deli Serdang, Padang, dan lain-lain. KBM juga memiliki fungsi sebagai lembaga pengawas dan pembimbing santri.
Secara eksplisit, pola manajemen yang diterapkan Pesantren Musthafawiyah berangkat dari penggabungan dua konsep, antara konsep pesantren dengan manajemen berorientasi terhadap penanaman jiwa keikhlasan (tulus), sukarela yang dalam Islam dikenal dengan istilah “lillāhi ta’ālā”. Integrasi konsep tersebut merupakan bentuk akomodatif pesantren terhadap perkembangan global saat ini. Konsep tradisional tersebut tetap menjadi modal dasar yang dilapisi dengan profesionalisme sehingga membentuk kombinasi ideal yang utuh, yaitu idealisme-profesionalisme.
Perilaku profesional ditunjukkan guru melalui tanggung jawab dalam pembinaan santri, sementara idealisme ditunjukkan melalui nilai kultur banjaran yang sudah bertahan selama kurun satu abad lebih. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Adawiyah dan Osman Ghani et. all. menyatakan, bahwa perilaku yang mencerminkan spirit keislaman terbukti mampu membentuk perilaku profesional dan meningkatkan kinerja organisasi. (Admin)