Internalisasi Nilai-nilai Karakter dalam Budaya Banjaran Pesantren Musthafawiyah Purbabaru
Akulturasi Nilai Budaya Banjaran dalam Pembentukan Perilaku
Budaya banjaran menjadi sebuah bagian dari karakteristik Pesantren Musthafawiyah. Pemahaman terhadap nilai budaya banjaran bersifat jangka panjang. Pengamatan terhadap karakter santri melalui internalisasi budaya banjaran antara lain mewujud dalam nilai kemandirian, nilai inovasi dan kreativitas, nilai motivasi kewirausahaan, nilai religiositas, nilai komunikasi, nilai sosial kemasyarakatan, nilai ketahanan mental dan fisik, nilai moderasi yang menghargai perbedaan, nilai toleransi, dan nilai ukhuwah (persahabatan dan kekeluargaan).
Peranan budaya banjaran dalam membentuk karakter santri diamati melalui sistem pengelolaan pesantren yang dapat diamati melalui analisis sistem-proses-output. Analisis terhadap input dimulai dari sistem penerimaan, yang dalam hal ini pesantren bertahan dengan standar lembaga, di mana santri baru yang diterima adalah semua calon santri yang mendaftar dan telah mengikuti pemetaan kemampuan membaca Al-Qur’an. Penerimaan santri lebih tepat dikatakan sebagai ajang pemetaan santri baru. Semua santri yang mempunyai niat belajar yang dibuktikan dengan mendaftar dan mengikuti proses pemetaan akan diterima sebagai peserta didik. Santri baru juga diberi kebebasan dalam menentukan tempat tinggal hingga memilih banjar. Banjar yang dijadikan tempat tinggal para santri putra dapat dibeli melalui alumni, membuat pondok baru atau indekos di rumah masyarakat dan rumah guru.
Orientasi nilai pesantren mangarah kepada pembentukan dan penanaman nilai kemandirian, kewirausahaan, dan religiositas. Aspek nilai kemandirian terbentuk secara sistematis terbentuk melalui pola kegiatan harian, antara lain: santri belajar kreatif dalam merawat dan merenovasi banjarnya masing-masing.
Santri dituntut memiliki jiwa kewirausahaan, hal ini tergambar dari interaksi santri dengan masyarakat dalam mengelola kebutuhan makan mereka dengan berbelanja kebutuhan pokok di warung-warung masyakat sekitar dan juga dalam masalah sewa tanah. Santri juga melakukan interaksi dengan santri lainnya dan alumni dalam hal jual beli banjar. Prosedur pembelian banjar dapat melalui pihak pesantren, santri senior, atau alumni yang sudah tamat. Penggambaran terhadap fenomena tersebut adalah nilai komunikasi, solidaritas, dan tolong-menolong.
Sedangkan tinjauan terhadap aspek religiositas antara lain menjadikan masjid/musala sebagai sentra kegiatan, baik kegiatan formal atau informal, kegiatan besar atau kecil. Keberadaan pesantren di tengah masyarakat juga berfungsi sebagai pelindung.
Internalisasi dan Fungsi Budaya Banjaran
1. Identitas Pembeda
Bangunan banjar di Pondok Musthafawiyah berbentuk rumah panggung dan berbahan kayu/papan dan seng. Media untuk penerang banjar menggunakan bohlam, dan bahkan beberapa banjar diterangi lampu teplok. Aksesoris banjar menggunakan partisi yang sederhana beralaskan tikar dan lemari buku seadanya. Para santri, meskipun (terbatas) telah tersedia fasilatas Mandi-Cuci-Kakus lebih memilih sungai sebagai tempat mereka melaksanakan aktivitas mencuci dan mandi. Sementara untuk mendapatkan air bersih, tidak jarang mereka pergi ke celah bukit. Realitas tersebut menggambarkan kehidupan santri yang sederhana, mandiri, dan gigih.
Para santri Pesantren Musthafawiyah dikenal juga dengan panggilan pokir yang berarti ‘fakir’. Kata fakir mengisyaratkan orang yang miskin ilmu sehingga dengan rasa sadar dan keterpanggilan hati berusaha untuk membuat diri menjadi ‘kaya’ dengan menambah dan menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya di pesantren. Pemaknaan atas sebutan pokir tersebut menggambarkan nilai sederhana, rendah hati, suci jiwa, namun antusi dalam thalabul ‘ilmi.
Identifikasi pada atribut, para santri cenderung mengikuti mode berpakaian ulama-ulama setempat dengan memakai jubah, kemeja putih/baju koko, sarung, lobe (songkok), sorban, dan sandal dalam segala kegiatan baik yang bersifat formal dan nonformal yang dalam penelitian Daulay dkk. atribut pakaian ini dikatakan sebagai budaya fisik. Hal ini dapat menggambarkan nilai-nilai kesederhanaan, cinta dan ta’zhîm terhadap ulama, menjaga ilmu yang dimiliki, dan menjaga kesucian jiwa.
Untuk tempat tinggal, santri memiliki kebebasan dalam memilih tinggal di asrama, indekos atau membeli banjar yang kemudian dikreasikan dengan melakukan perawatan atau menambah partisi dan menjadikan kolong banjar sebagai tempat penyimpanan barang-barang bawaan santri. Santri juga memiliki kebebasan untuk mengikuti kegiatan mudhâkarah. Bebas di sini diartikan, bebas memilih kepada guru mana dan kegiatan apa dalam mudhâkarah. Rutinitas harian santri selain mengikuti mudhâkarah adalah pemanfaatkan waktu siang dan sore hari untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai minat masing-masing. Selain itu santri juga diberi kebebasan untuk beraktivitas mandiri seperti mencuci atau istirahat. Nilai yang tergambar dari fenomena aktivitas harian santri tersebut adalah kemerdekaan, sikap tanggung jawab, dan sikap jujur.
Para santri Musthafawiyah berasal dari berbagai macam daerah dengan suku yang beragam dan dari jenjang pendidikan serta kelas yang berbeda. Data tersebut menciptakan nilai-nilai karakter toleransi, kesetaraan, dan ukhuwah. Penelitian yang dilakukan Raihani, Parker et all. mengungkapkan bahwa model kepemimpinan demokratis menjadi upaya dalam menciptakan lingkungan pesantren yang toleran dan multikultural.
2. Komitmen Bersama
Pesantren sarat akan aktivitas kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran hidup. Nilai-nilai Islam termanifestasikan dalam kegiatan sorogan, pengajian, dan aktivitas ekstrakurikuler lainnya. Bentuk kegiatan bersifat pembangkit semangat dalam bentuk: a) pemberian gaji (ujrah) tepat waktu; b) kebijakan bermusyawarah atau melibatkan anggota dalam pembentukan keputusan strategis; c) melaksanakan fungsi delegatif; d) melaksanakan pemberian tanggung jawab/peran; dan e) optimalisasi skill dengan aktivitas yang mendayagunakan keterampilan. Nilai karekter yang dihasilkan adalah rasa memiliki yang kuat (al-Ta’ashshub) dan nilai semangat kerja.
Operasionalisasi kegiatan juga dilakukan dengan pengorganisasian yang melibatkan para ustaz dan para santri senior dalam pola pengawasan banjar: Adapun bentuk operasionalisasi tersebut adalah:
- Pembentukan koordinator guru berasal guru-guru senior.
- Pembentukan jadwal supervisi guru junior di malam hari.
- Pembentukan organisasi santri yang disebut Dewan Pelajar Musthafawiyah. Organisasi santri tersebut juga merupakan perpanjangan kewenangan guru.
- Pembentukan Persatuan Keluarga Besar Musthafawiyah, disebut juga pengurus banjar.
- Terdapat sistem ‘abang asuh’, yaitu penempatan santri senior pada setiap banjar yang berfungsi sebagai pembimbing santri-santri junior.
3. Stabilitas Sistem Sosial
Pesantren Mushafawiyah memiliki santri yang berasal dari daerah dan asal suku yang berbeda. Kondisi heterogen tersebut menciptakan karakter dengan nilai Pancasila yaitu Bhineka Tunggal Ika, di mana perbedaan suku, bahasa, dan latar belakang justru dijadikan alat mencapai kesamaan, yaitu visi dan misi Pesantren Musthafawiyah. Pesantren menerapkan sistem pengawasan abang senior yang ditempatkan pada banjar sebagai abang asuh untuk membimbing anggotanya.
Manajemen banjar yang dilaksanakan Musthafawiyah adalah membagi pondok santri ke dalam 29 banjar yang menggambarkan miniatur perkampungan. Setiap banjar memiliki jumlah yang berbeda antara 20 hingga maksimal 150 pondok dan setiap pondok dihuni oleh 2 sampai 4 orang santri. Komunitas banjar memiliki perangkat kepengurusan terdiri dari ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris, bagian ketertiban. Kepengurusan banjar di bawah binaan dan pengawasan Dewan Pelajar (Depel) Musthafawiyah. Selain perangkat banjar dan Dewan Pelajar juga terdapat komunitas Keluarga Besar Musthafawiyah (KBM) yang beranggotakan santri-santri yang berasal dari daerah asal yang sama, seperti KBM Deli Serdang, Padang, dan lain-lain. KBM juga memiliki fungsi sebagai lembaga pengawas dan pembimbing santri.
Secara eksplisit, pola manajemen yang diterapkan Pesantren Musthafawiyah berangkat dari penggabungan dua konsep, antara konsep pesantren dengan manajemen berorientasi terhadap penanaman jiwa keikhlasan (tulus), sukarela yang dalam Islam dikenal dengan istilah “lillāhi ta’ālā”. Integrasi konsep tersebut merupakan bentuk akomodatif pesantren terhadap perkembangan global saat ini. Konsep tradisional tersebut tetap menjadi modal dasar yang dilapisi dengan profesionalisme sehingga membentuk kombinasi ideal yang utuh, yaitu idealisme-profesionalisme.
Perilaku profesional ditunjukkan guru melalui tanggung jawab dalam pembinaan santri, sementara idealisme ditunjukkan melalui nilai kultur banjaran yang sudah bertahan selama kurun satu abad lebih. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Adawiyah dan Osman Ghani et. all. menyatakan, bahwa perilaku yang mencerminkan spirit keislaman terbukti mampu membentuk perilaku profesional dan meningkatkan kinerja organisasi. (Admin)
Tags : Artikel Jurnal Pendidikan Pesantren Ringkasan Serba Serbi
Posting Komentar