Jumat, 12 Januari 2024

Dayah dan Transmisi Ilmu-ilmu Keislaman di Aceh: Studi Kasus di Dayah Keumaral Al-Aziziyah

Oleh: Zatul Mustara, Revina Wahyu Undaria, Desi Ratna Sari Munthe
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe)

Pendahuluan
Dayah Salafi adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang berperan penting dalam menjaga keberlanjutan sanad dan warisan keilmuan Islam di Nusantara, khususnya di Aceh. Sejak masa awal Islam, dayah bukan hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga pusat kaderisasi ulama dan penguatan budaya Islam lokal (Azra, 1999).

Salah satu contohnya adalah Dayah Keumaral Al-Aziziyah di Aceh Utara. Dayah ini tetap setia pada tradisi pengajaran kitab kuning, seperti Tafsir al-Jalalain, al-Bajuri, dan al-Muqaddimah al-Ajurrumiyyah, yang diajarkan secara bertahap mulai tingkat Tsanawiyah hingga Aliyah. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada hafalan dan pemahaman teks, tetapi juga pada pembentukan akhlak, kedisiplinan, dan kebiasaan hidup Islami santri.

Namun, modernitas menghadirkan tantangan baru. Seperti disampaikan Bruinessen (1995) dan Salabi & Prasetyo (2022), pendidikan pesantren dan dayah harus terus beradaptasi agar tetap relevan, tanpa kehilangan karakter tradisionalnya. Dayah Keumaral Al-Aziziyah menjawab tantangan ini dengan membuka ruang pembelajaran kontekstual dan mengarahkan santri untuk melek teknologi serta wawasan global, sembari tetap menjaga otentisitas ajaran klasik.

Sejarah Singkat Dayah Keumaral Al-Aziziyah
Didirikan oleh Tgk. T. Zulfadli bin H. T. Ismail (Waled Landeng) pada tahun 2014, dayah ini memulai kegiatan belajar mengajar secara resmi pada tahun 2015. Waled Landeng sendiri menimba ilmu di MUDI Mesra Samalanga hingga 2008, sebelum melanjutkan pengabdian dan pendalaman ilmu di Pesantren Nurul Kamal Al-Aziziyah.

Awalnya, santri di dayah ini kebanyakan pulang-pergi dari rumah masing-masing. Namun sejak 2021, jumlah santri yang mondok di asrama meningkat pesat, termasuk santri dari luar Aceh Utara seperti Medan, Bireuen, Aceh Singkil, hingga Aceh Timur. Ini menunjukkan daya tarik dan reputasi keilmuan dayah yang kian meluas.

Metode Transmisi Ilmu Keislaman
Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, Dayah Keumaral Al-Aziziyah menerapkan metode pengajaran khas yang telah diwariskan turun-temurun. Metode-metode ini bukan hanya sarana menyampaikan ilmu, tetapi juga menjadi media pembentukan karakter dan spiritualitas santri.

Secara umum, terdapat empat pendekatan utama yang menjadi ciri khas proses belajar-mengajar di dayah ini:
  1. Halaqah: Diskusi ilmiah dalam kelompok kecil yang melibatkan guru dan santri. Melalui halaqah, santri tidak hanya menerima materi secara pasif, tetapi juga aktif bertanya dan menanggapi.
  2. Sorogan: Santri membaca kitab langsung di hadapan guru. Guru kemudian mengoreksi, memperbaiki, dan meluruskan pemahaman bacaan, sehingga tercipta proses belajar individual yang mendalam.
  3. Bandongan: Guru membaca dan menerangkan isi kitab kuning kepada santri, sementara santri mendengar dan mencatat poin penting sebagai bekal pengkajian lebih lanjut.
  4. Pengamalan sosial: Santri diajak untuk menghidupkan nilai-nilai Islam dalam keseharian melalui kegiatan ibadah berjemaah, gotong royong, hingga bakti sosial di lingkungan sekitar.
  5. Metode-metode ini sesuai dengan penjelasan Dhofier (2011), bahwa inti pendidikan pesantren dan dayah terletak pada hubungan guru-murid yang erat dan pola pembelajaran yang partisipatif, sehingga ilmu tidak hanya dipahami secara teks, tetapi juga dihidupkan dalam perilaku.
Kurikulum Kitab Kuning
Dalam rangka mendalami khazanah keilmuan Islam, Dayah Keumaral Al-Aziziyah membagi kurikulum kitab kuning sesuai jenjang pendidikan santri: tingkat Tsanawiyah (setara SMP) dan Aliyah (setara SMA).

Tingkat Tsanawiyah:
  1. Ghayah wat-Taqrib (fikih)
  2. al-Ajurrumiyyah (nahwu)
  3. al-Amtitsal at-Tashrifiyyah (sharaf)
  4. Aqidah Islamiyah, Khamsatun Mautun (tauhid)
  5. Ta'lim al-Muta’allim (tasawuf)
  6. Sullam al-Munawraq (mantiq)
  7. Matan Arba'in (hadis)
  8. Nurul Yaqin (sirah Nabawiyah)
Tingkat Aliyah:
  1. I'anatuth Thalibin (fikih)
  2. Alfiyah Ibn Malik dan al-Kawakib ad-Durriyah (nahwu)
  3. Kailani (sharaf)
  4. Matlub dan Kifayat al-Awam (tauhid)
  5. Idhah al-Mubham (mantiq)
  6. al-Majalis as-Saniyyah (hadis)
Kitab-kitab tersebut merupakan karya para ulama besar seperti Imam Nawawi, Imam al-Mahalli, Imam Ibn Malik, dan Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha al-Dimyathi. Pemilihan kitab disesuaikan dengan tingkat pemahaman santri agar pembelajaran dapat berjalan bertahap dan mendalam.

Lebih dari sekadar materi ajar, kitab-kitab ini menjadi sarana menjaga kesinambungan manhaj Asy’ariyah dalam akidah, serta pendekatan tasawuf ala Imam al-Ghazali yang menekankan keseimbangan antara ilmu, akhlak, dan spiritualitas. Dengan demikian, kurikulum di dayah ini tidak hanya mendidik kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun ketangguhan moral dan kesadaran sosial santri.

Pembahasan: Memadukan Tradisi dan Konteks Modern
Dayah Keumaral Al-Aziziyah menjadi contoh nyata lembaga tradisional yang berupaya kontekstual: mengajarkan kitab kuning dengan metode klasik, sambil tetap memperhatikan pentingnya literasi teknologi dan wawasan global bagi santri.

Sebagaimana disarankan oleh Abdurrahman Wahid dalam Hidayat (2016), pesantren dan dayah perlu mempersiapkan lulusan yang mampu berdialog dengan realitas sosial modern. Di dayah ini, pengajaran akhlak dan kepemimpinan diperkuat melalui kegiatan sosial dan pelatihan soft skill, agar lulusan siap terjun ke masyarakat, bukan hanya sebagai ahli agama, tetapi juga sebagai pemimpin yang bijak.

Pembelajaran di dayah juga tetap menempatkan guru (teungku) sebagai pusat teladan. Relasi erat antara santri dan guru membantu menjaga kedalaman penguasaan ilmu sekaligus pembinaan karakter, yang menjadi ciri khas pendidikan Islam tradisional.

Penutup
Keberadaan Dayah Keumaral Al-Aziziyah membuktikan bahwa transmisi ilmu-ilmu keislaman tradisional tidak hanya tetap relevan, tetapi juga dapat menjadi fondasi kokoh untuk melahirkan generasi ulama yang berkarakter, kritis, dan adaptif.

Dengan metode pengajaran yang tetap interaktif dan kurikulum kitab kuning yang terstruktur, dayah ini menjadi pusat pendidikan, pengembangan akhlak, dan penguatan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Harapannya, para alumni tidak hanya mewarisi tradisi keilmuan klasik, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman dan memberi manfaat luas bagi umat.

Referensi:
Salabi, A. S., & Prasetyo, M. A. M. (2022). The Internalization of Banjaran Cultural Character Values in Musthafawiyah Islamic Boarding School, Purbabaru. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 46(2), 257-273. http://dx.doi.org/10.30821/miqot.v46i2.900.
Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos Wacana Ilmu.
Bruinessen, M. V. (1995). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Mizan.
Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. LP3ES.
Hidayat, R. (2016). Epistemologi Pendidikan Islam: Sistem, Kurikulum, Pembaharuan Dan Upaya Membangun Epistemologi Pendidikan Islam. Almufida: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 1(1).

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Tags :

bm
Created by: Admin

Media berbagi informasi dan pembelajaran seputar Pendidikan Islam (PEDI), Manajemen Pendidikan Islam (MPI), dan Lembaga Pendidikan Islam.

Posting Komentar

Ikuti Channel YouTube

Connect