Jumat, 12 Februari 2021

Abang Pergi Tak Kembali

*Catatan istri ‘Bang Toba’ (Sabaruddin Simbolon)
Andriani, S.Pd.I., Guru SMPN 6 Lhokseumawe

Selama 18 tahun 4 bulan bersamanya, sungguh waktu yang sangat singkat, karena takdir berkata lain. Pertemuan dan kebersamaan kami mengarungi bahtera rumah tangga berakhir sudah. Padahal masih tersisa harapan bersama untuk dapat mendidik anak-anak, mengantarkan mereka ke usia dewasa, menikah hingga kami memiliki cucu dan kami menua bersama. Namun Allah berkehendak lain.
Jumat tanggal 30 Agustus 2019 setelah salat subuh suamiku bergegas mempersiapkan diri untuk ke sekolah karena ada acara penting, katanya. Seperti biasa, putri kami yang merupakan anak ketiga selalu pergi ke sekolah bersama Bapak tercintanya, karena sekolahnya satu arah dengan SMAN 5 di mana Bapaknya mendedikasikan diri sebagai guru PKn. Putri kami begitu dekat dengan sosok Bapak, di mana hari-harinya selalu diisi dengan bercanda bersama Bapak. Kalau Bapak pulang dari sekolah, putri kami sering bersembunyi (kadang di belakang  pintu atau di balik tirai jendela) berharap dicari-cari oleh Bapak. Ketika makan, putri kami juga masih mau disulang oleh Bapak, padahal ia sudah duduk di kelas VI Madrasah Ibtidaiyah saat itu. 
Kalau Bapak pulang ke rumah, setelah memberi salam ia selalu menanyakan anak perempuannya dengan panggilan “Inang” yang menjadi khas panggilan manja dan kesayangannya. “Mana Inang?”, pertanyaan itu hampir setiap hari diutarakannya, karena hanya dialah yang berada di rumah, sementara kedua abangnya mondok di salah satu pesantren tahfiz di Kota Medan. Ternyata hari itu merupakan hari terakhir putri kami diantar oleh Bapak dan hari itu juga merupakan hari terakhir ia dapat bercanda dan bermanja.
Bagaikan petir di siang hari, sekira pukul 22.00 aku dihubungi via telepon seluler oleh Ustaz Wido ‘sahabat kandung’ suamiku, begitu teman-teman suamiku menyebut kedekatan mereka yang bagaikan amplop dengan perangko, bahwa suamiku harus masuk rumah sakit malam itu. Padahal malam itu rencananya suamiku akan berangkat ke Medan. Hal ini sudah pula diberitahukannya kepadaku di pagi hari. “Kalau ada uang nanti, Abang ke Medan ya Dek, karena sudah tiga kali acara di rumah Ustaz Faisal Amri, belum pernah abang datang”, katanya. Ustaz Faisal adalah sahabat dekatnya yang sama-sama pernah mondok di Pesantren Darularafah Deli Serdang, dan suamiku sering mencerikan kebaikan beliau. Aku pun menjawab, “Ya Bang,” dengan cepat. 
Pulang pergi Lhokseumawe-Medan sudah menjadi hal biasa, bahkan rutin dilakukannya hampir tiap minggu dalam rangka menjenguk anak-anak kami yang mondok sekaligus menghadiri perkuliahan sebagai mahasiswa S3 Program Studi Hukum Islam di UIN Sumatera Utara. 
Jumat malam itu, suamiku masih sempat menelepon, “Dek, kayaknya Abang jadi ke Medan ya malam ini.” Mendengar itu, aku bergumam di dalam hati, “Berarti sudah ada uang untuk ongkos.” Kemudian aku bertanya, “Apa Abang langsung ke Medan?” Karena yang kutahu, mulai berangkat ke Bireuen, menyempatkan salat Jumat di masjid kawasan Bireuen, baju ganti pun tidak beliau bawa. “Ya nggak lah Dek..., nanti Abang pulang dulu nengok Adek dan Inang.” Aku merasa lega dan menimpali obrolan kami, “Oh..., ya udah Bang, nih..., sekarang Adek di rumah Ayah, nanti kalau dah mau sampai ke rumah, kabari ya Bang..., biar kami pulang. Sudah menjadi kebiasaanku dan putriku berkunjung ke rumah Ayah kalau suamiku ada kegiatan rapat atau ngopi bersama teman-temannya.
Lebih kurang setengah jam setelah beliau meneleponku, Ustaz Wido memberi kabar, bahwa beliau sakit, mungkin karena masuk angin dan dibawa ke rumah sakit. Perasaanku langsung berkecamuk dan tidak percaya, karena baru saja suamiku menelepon tidak kudengar tanda-tanda ia merasakan dan mengeluh sakit. Namun Ustaz Wido meyakinkanku, bahwa dokter sudah menanganinya dan semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sekira pukul 23.30 aku minta tolong kepada adikku agar aku diantar ke Rumah Sakit BMC (Bireuen Medical Center) tempat beliau dirawat. Saat sampai di daerah Matang Gelumpang Dua, kurang lebih 15 menit perjalanan menuju BMC, Ustaz Wido menelepon kembali agar aku berusaha lebih cepat sampai ke rumah sakit. Aku semakin bertanya-tanya, “Sebenarnya ada apa dengan suamiku Ustaz?” “Sekarang tensi darahnya tinggi tapi nggak apa-apa, ada dokter yang menangani”, kata-kata itu yang selalu diucapkan Ustaz Wido, mungkin untuk sekadar menenangkanku.
Sesampainya di BMC sekira pukul 01.00 dini hari, aku langsung turun dari mobil, dan aku melihat pak Akmal teman suamiku yang bersama Ustaz Wido menjadi partner bisnis botot (barang rongsokan) dan teman seperjalanan hari itu. Tanpa kata, beliau memberi isyarat kepadaku agar segera masuk ke dalam rumah sakit. “Bagaimana keadaan suami saya Pak, separah apa sampai dirawat di rumah sakit?” Beliau tidak menjawab, hanya menuntun jalan agar aku cepat menuju ruang perawatan.
Sampai di ruangan, aku melihat sudah banyak ustaz-ustaz dari Pesantren Az-Zahrah yang membesuk dan menunggu suamiku, termasuk Ustaz Hendrik Mabohid yang sudah seperti saudara kami. Aku masuk ke ruang perawatan, kulihat infus, oksigen, dan peralatan entah apalagi yang sudah terpasang di tangan dan di dada suamiku. Aku harus kuat untuk dapat memberi semangat kepada suamiku agar tidak menyerah dan dapat kembali sembuh. Hanya itu harapan yang bisa aku sampaikan kepada Allah.
Begitu Abang mengetahui kedatanganku, ia membuka matanya sambil berucap, “Dek..., ikhlaskan Abang ya Dek. Jaga anak-anak, masukkan Butet (panggilan untuk anak perempuan suku Batak) ke pesantren. Bawa pulang mayat Abang ke rumah ya Dek.” Seketika aku menjerit,  “Abaaang....” Kemudian ia menggeser kepalanya ke tanganku mengisyaratkan agar aku memangkunya. Aku terus berucap sambil memanggil-manggil namanya, “Abang jangan ngomong begitu, Abang akan sembuh, Abang harus sembuh....” Tapi perawat menyarankanku untuk men-talqin-kan suamiku. Aku tidak percaya, aku belum yakin, aku masih optimis kalau suamiku akan sembuh, namun aku juga terus berusaha untuk kuat dan tegar sembari aku membantu suamiku ber-talqin, ”Lā ilāha illa Allāh Muhammadurrasūlullāh,” begitu cepat dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya sekira pukul 02.00. Ia tidak meronta, hanya terlihat seperti orang tidur. Aku masih tidak percaya, dan aku masih mengharap keajaiban diberikan Allah agar suamiku bangun dari tidur panjangnya. Dokter pun meyakinkanku dan menyatakan, bahwa pasien sudah meninggal dunia. Innā lillāhi wa innā ilahi rāji’ūn.
Aku meminta bantuan Ustaz Wido untuk menelepon dan memberi kabar duka ini ke siapa saja yang namanya tertera di selulerku dan seluler almarhum. Sembari mengharap agar almarhum dapat dimaafkan dan mendapat doa semoga almarhum ditempatkan di sebaik-baik tempat oleh Allah swt. dan kami yang ditinggal dapat bersabar, ikhlas, serta tawakal. 
Saat ini, aku merasa seakan suamiku masih ada. Ia selalu ada di hati karena selama bersamanya banyak kebaikannya yang aku dapat. Meski bukan dari suku yang sama (aku suku Aceh dan suamiku suku Batak Toba), segala konflik dan kesalahpahaman adat, kebiasaan, bahasa, dan lainnya tidak pernah menjadi masalah yang besar bagi kami. Kami selalu menyelesaikan permasalahan kami dengan kepala dingin, bahkan keluarga pun tidak pernah tahu dan tidak pula pernah mendengar permasalahan kami. Kebiasaan yang kami lakukan adalah menyelesaikan masalah dengan tidak menunggu hari esok. Siapa yang merasa bersalah harus meminta maaf. Begitulah cara kami dalam menyelesaikan masalah rumah tangga. Abang juga menjadi tempatku berdiskusi permasalahan di sekolah, di keluarga besarku, masalah dengan rekan kerja, dan selalu ada solusi yang bernas dari beliau. Tapi sekarang, ke mana tempat aku mengadu?
Aku merasa seakan-akan suamiku saat ini  sedang berada di Banda Aceh mengikuti pelatihan guru atau di Takengon mencari barang-barang bekas bersama rekan bisnisnya dan sekadar berkunjung ke rumah sahabatnya atau di Medan sedang mengikuti perkuliahan. Karena tiga tempat itu sering menjadi destinasi suamiku. Tapi saat sore hari tiba, barulah aku sadari bahwa beliau sudah meninggalkanku selamanya, Abang pergi dan tak kembali lagi. Sedihku tak terbilang, hampir-hampir aku tak sanggup menanggung beban derita. Kalau tidak karena keluarga, anak-anakku, dan teman-temanku serta teman-teman Abang, rasanya berat untuk menerima kenyataan ini. 
Kehilangan sosok yang dicintai sangat menyayat hati dan membuatku terpukul. Tapi aku harus mampu melanjutkan amanah Abang dan mendidik ketiga anak-anak agar kelak mereka menjadi orang-orang yang Abang harapkan. Menjadi anak-anak hāfiẓū al-Qurān yang semoga dapat menuntun Abang dan aku menuju surga Allah bersama. Menjadi anak-anak yang saleh dan salihah, bertakwa kepada Allah, berbakti kepada orang tua, berakhlak mulia, berguna bagi agama, nusa dan bangsa, dan menjadi kebanggaan Abang.
Hanya tinggal kenangan, hari-hariku bersama Abang dulu sangat menyenangkan hati. Rumah kami dipenuhinya dengan canda, cinta dan kasih. Kata orang-orang, hatinya tidak seseram wajahnya. Suaranya keras (maklum orang Batak yang biasa menjerit dari atas bukit memanggil anaknya yang berada di kaki bukit) terkesan kasar dan marah, padahal nada itu adalah kesantunan dan keramahannya. 
Kini tak kudengar lagi canda Abang, tidak juga suara kerasmu. Tak bisa lagi aku menyuguhkan kopi sebagai penangkal kantukmu dalam menyelesaikan buku-bukumu. Kini aku sudah belajar ikhlas dan sabar hingga aku yakin bahwa Abang memang sudah pergi dan tak kembali. Semoga Allah menerimamu di sisi-Nya, dan memasukkanmu bersama orang-orang saleh lainnya di surga Allah. Insyaallah kami yang Abang tinggalkan akan terus belajar sabar (sesuai namamu), ikhlas, dan tabah menghadapi kenyataan ini.
Walau Abang telah tiada, dan takkan kembali lagi, namun banyak pesan dan pembelajaran yang Abang tinggalkan kepadaku. Sering kali Abang mengurus hal-hal yang kuanggap remeh, seperti menggagas penulisan buku karya siswa dan santri, sampai-sampai Abang tak menghiraukan lelah dan sakit, sementara Abang sendiri mempunyai tanggung jawab pribadi untuk menyelesaikan disertasi. Sekarang aku tahu, bahwa Abang adalah sosok yang suka berbagi ilmu yang dengan itu ternyata Abang sedang mengumpulkan pundi-pundi amal jariyah buat bekal Abang pulang ke akhirat.
Pernah juga aku merasa heran dengan keputusan Abang untuk melanjutkan studi S3, padahal Abang hanyalah seorang guru PKn di SMA Negeri 5 Lhokseumawe. “Untuk apa Abang tinggi-tinggi kuliah dengan biaya mandiri yang tidak sedikit, sementara ekonomi kita juga tidak lebih,” tanyaku dalam hati. Sekarang aku sadar, kalau Abang sedang mengajari kami untuk terus belajar dan menjadi tholib al’ilmi sepanjang hayat. Aku pun bisa menjadi sarjana karena motivasi Abang, padahal waktu itu aku sudah memiliki tiga orang anak. Bahkan Abang juga yang memaksaku untuk melanjutkan pendidikan strata dua. Never too old to learn, itulah pribahasa yang sering Abang ucapkan dengan aksen Batakmu.
Terkadang aku juga merasa sedikit kesal ketika Abang sering keluar malam dengan alasan ada rapat kegiatan silat dan lainnya, atau hanya sekadar ngopi bareng bersama teman-teman, padahal saat malam hari aku sering ketakutan tinggal di rumah berdua dengan Butet. Sekarang aku baru mengerti arti persahabatan dan silaturahim yang Abang buhul. Ketika Abang pergi dan tak kembali betapa banyak sahabat-sahabat Abang yang datang melayat, berduka, berempati, turut mendoakan dan ikut melaksanakan kaifiyat al-mayyit sampai mengantarkan Abang sampai ke peristirahatan terakhir. 
Kesetiaan dalam persahabatan yang Abang bina menjadikan sahabat-sahabat Abang sudah seperti saudara sendiri, sehingga sahabat-sahabat yang berasal dari Medan, Banda Aceh, Takengon, Sigli, bahkan dari Meulaboh pun datang melayat. Ada juga yang tidak bisa datang karena jarak yang terlalu jauh, namun mereka tetap mengirimkan doa-doa untuk Abng dan memberikan support kepadaku. Bahkan sampai hari ketujuh kepergianmu, teman-teman Abang masih banyak yang setia membantuku dengan tulus. 
Dari unsur organisasi, IKAPDA, MGMP PKn, IGI, Pramuka, Keluarga Besar dan Alumni Pesantren Misbahul Ulum Paloh, Keluarga Besar dan Alumni Pesantren Az-Zahrah, Keluarga Besar Dayah Arun, Keluarga Besar SMAN 5, Keluarga Besar SMPN 6 Lhokseumawe, dan banyak lagi yang tak dapat aku sebutkan satu per satu juga datang bertakziah ke rumah kita. Bahkan ada juga beberapa sahabatmu yang menawarkan bantuan pendidikan buat anak-anak kita Azzam, Azmi, dan Azimah (Butet). Dan aku yakin, bahwa kepedulian mereka adalah buah dari kepedulian yang kau semai semasa hidupmu.
Sekarang aku bersama dua putra dan seorang putri tanpa Abang, namun aku yakin semangat Abang dan nilai-nilai yang abang tinggalkan akan tetap bersama kami. Dulu kita pernah berjanji, siapa saja di antara ketiga anak-anak kita yang meng-khatam-kan hafalan Alquran 30 juz, maka akan kita berangkatkan ke Tanah Suci untuk Umrah. Namun tanpamu Abang, kadang terbesit rasa pesimisme apakah aku sanggup untuk memenuhi janji itu? Melihat semangat anak-anak kita, pesimesme itu pun hilang dan janji itu Insyaallah akan terpenuhi, karena aku yakin “Bi qadri mā ta’tanī tanālu mā tatamannā.” 
Kini Abang bukan saja menjadi sosok yang aku serta anak-anak rindukan dan banggakan, namun para sahabat juga merasakan hal yang sama. Candamu, kegigihanmu dalam belajar, semangatmu dalam bekerja dan berkarya, jalinan persahabatan yang kau ikat, kesederhanaanmu, dan kepeduliannmu telah kau titipkan sebagai ‘ibrah buatku dan anak-anak kita.

Sumber: Dokpri


Tags :

bm
Created by: Admin

Media berbagi informasi dan pembelajaran seputar Pendidikan Islam (PEDI), Manajemen Pendidikan Islam (MPI), dan Lembaga Pendidikan Islam.

1 komentar:

Ikuti Channel YouTube

Connect