Implementasi Syukur di Idul Fitri
Oleh: Buya Mas Rahim Salaby
“Dan sempurnakanlah bilangan puasamu dan besarkanlah nama Allah, mudah mudahan kamu menjadi orang yang pandai bersyukur.” (QS. 2/Al-Baqarah: 185)
Berpuasa sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah kerena selama hidup yang dijalani, kita telah banyak menerima dan merasakan anugerah Allah, di antara kenikmatan hidup itu ialah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS.3/Ali-Imran: 14)
Pada umumnya kita mengamalkan syukur hanya dengan ucapan terima kasih kepada Allah yang telah menganugerahi kita segala macam kenikmatan hidup. Persepsi syukur bukan sekadar demikian, ada banyak cara mengimplementasikan syukur. Perkataan شَكَر yang mengandung makna 'berterima kasih', adalah arti yang sudah dikembangkan/dibudayakan. Adapun arti dasar dari syukur, adalah “ambing susu yang berisi penuh”, atau makna lain “menjadi dermawan” (lihat Kamus Al-Munawwir: 785). Ambing susu, kalau penuh harus segera dikeluarkan dengan cara menyusukan anak, kalau tidak diberikan malah akan jadi mudarat. Makna syukur adalah setiap kita mendapat rezeki, maka harus dibagi-bagikan dan tidak boleh dinikmati sendiri. Jadi, hakikat makna syukur adalah berbagi nikmat.
Bulan Ramadan, selain menjadi wadah penggemblengan orang-orang mukmin menuju muttaqīn (ketakwaan), juga menjadi wadah penggemblengan diri untuk menjadi orang-orang bersyukur. Adapun bukti dari upaya penggemblengan tersebut dapat terlihat saat tibanya bulan syawal dan bulan-bulan seterusnya.
Setelah sebulan lamanya kita menahan diri dengan berpuasa; seperti telur yang dierami induk ayam selama 21 hari lalu menetas menjadi anak ayam, atau seperti ulat yang mengalami peroses menjadi kepompong lalu berubah menjadi kupu-kupu yang indah setelah melalui puasa. Kita mengharap setelah berpuasa kita menjadi manusia yang bertakwa dan menjadi manusia yang pandai bersyukur. Kerena itu, memasuki bulan Syawal kita menyatakan kesyukuran kita dengan bertakbir mengagungkan Allah pada hari raya Fitri.
‘Idul Fiṭri terdiri dari dua kata, yakni īd dan fiṭr. Ῑd asal katanya adalah āda, dapat diartikan dengan ulangan, ulang tahun/hari raya. Sedangkan Fiṭr asal katanya adalah faṭara yang berarti terbit, terbuka, pecah, tumbuh, menjadi. Dari kata ini berkembangan menjadi kata al-fiṭru (berbuka), al-fuṭūr (sarapan), al-fiṭrah (sifat bawaan), dan al-Fāṭir (Yang membuat/menciptakan). Dari empat arti kata faṭara, ada tiga kesyukuran yang merupakan esensi ‘Ῑd al-fiṭri, yaitu: a) kesyukuran akan hari raya berbuka, b) kesyukuran akan hari raya kebersihan jiwa, dan c) keyukuran akan hari jadi (ulang tahun) dīn ciptaan Allah.
Kesyukuran Pertama; Hari Raya Berbuka
Setelah berpuasa menahan diri selama bulan Ramadan dengan tidak makan, tidak minum, dan meninggalkan semua hal-hal yang membatalkan puasa, padahal makan minum itu adalah kebutuhan jasamani, maka di hari Fitri kita dibebaskan Allah dari semua yang dipantangkan itu. Kita sudah bebas makan dan minum di siang hari sebagaimana biasanya. Umumnya, umat muslim mengekspresikan kebebasan ini dengan acara makan-makan, sehingga lahirlah tradisi menyambut Idul Fitri dengan persiapan makan-makanan, dan jadilah suasana Idul Fitri itu menjadi Hari Lebaran, hari yang di-raya-kan (dibesarkan), yang dimeriahkan dengan pakaian baru, rumah cat baru, perabot baru atau diperbarui serta hidangan kue-kue dengan serbaneka rasa dan bentuk.
Hari ini adalah hari kesyukuran karena kita sudah selesai menempuh ujian membendung pengaruh hawa nafsu sehingga, idealnya para ṣā’imīn (orang-orang yang berpuasa karena īmānan wa iḥtisāban), di hari fitri akan lahir sebagai insan baru dengan semangat jihad baru untuk memperjuangkan sunnah Allah dan Rasulnya. Ketika kita rajin menegakkan qiyāmul lail di sepanjang malam Ramadan, maka mestinya qiyāmul lail tetap tegak di bulan-bulan yang lain dari Ramadan, karena telah menjadi Kebutuhan Rohani. Itulah, antara lain implementasi rasa syukur di hari raya berbuka ini.
Kesyukuran Kedua; Hari Raya Kebersihan Jiwa
Allah telah menganugerahkan kepada kita pendengaran, penglihatan, dan hati, sebagaimana firman-Nya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS. 16/An-Nahl: 78)
Setiap insan wajib bersyukur atas pemberian pendengaran, penglihatan yang merupakan pintu masuk informasi. Selain itu, ada juga pemberian lain yang patut disyukuri, yaitu hati sebagai gudang penyimpanan data segala informasi dari hasil pendengaran dan penglihatan. Di sanalah diolah semua informasi hingga menjadi pengetahuan dan esensinya mengendap, meresap ke dalam jiwa, maka jadilah ia bahan pembentukan kepribadian serta pembentukan sikap dan pandangan hidup. Bila informasi yang masuk adalah informasi jelek, penuh kemaksiatan, maka hati pun jadi berpenyakit. Dengan berpuasa, hati dapat menjadi sehat bersih, karena puasa adalah bulan pembersih hati (tazkiyatul qalb). Oleh karena itu pulalah Nabi kita berpesan: “Berpuasalah kamu supaya kamu sehat” (صوموا تصحــوا).
Bulan Ramadan adalah bulan sehat, di mana kita dilatih memelihara kesehatan pendengaran, penglihatan, dan hati dari segala pengaruh informasi yang buruk supaya kita dapat menjadi orang yang terpelihara (Al-Muttaqūn), dan yang paling utama memelihara kesehatan hati. Sebab jika hati yang sakit, maka wujudnya bisa banyak sekali, antara lain adalah: al-jahlu (bodoh), riya, takabbur, dengki, bakhil, khianat, suka memfitnah, keras hati, keras kepala, mudah tersinggung, wahn (cinta dunia), suka dipuji, boros, berkeluh kesah, kufur nikmat, tak pernah merasa cukup, tak mau mengalah, tak bersyukur/berterima kasih dengan nikmat yang sudah didapat, dan sifat buruk lainnya.
Sifat-sifat buruk ini akan menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku yang tidak manusiawi, sebagaimana yang digambarkan Allah dalam beberapa ayat berikut:
- Manusia Berkepribadian Anjing; Allah berfirman: “Jika Kami menghendaki, Kami akan tinggikan kedudukannya dengan ajaran ayat-ayat itu akan tetapi dia lebih cendrung kepada dunawi lalu menurutkan hawa-nafsunya, maka perumpamaan orang ini seperti anjing yang kalau engkau bawa kepada anjing itu sesuatu, terjulurlah lidahnya dan kalau ditinggalkan, lidahnya terjulur juga.“ (Q.S. 7/Al-A’raf: 176)
- Manusia Berkepribadian Monyet dan Babi; Allah berfirman: “Katakanlah! Apakah Aku akan beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasan yang diterimanya dari (orang-orang fasik) disisi Allah, dan telah menjadikan mereka kera dan babi serta menjadi hamba Thaghut, mereka itu lebih buruk tempatnya dan sangat sesat dari jalan yang lurus.” (Q.S. 5/Al-Maidah: 60)
- Manusia Berkepribadian Binatang Ternak; Allah berfirman “Dan sesungguhnya kami jadikan isi Neraka Jahannam kebanyakan dari golongan Jin dan manusia yang mereka punya hati tapi tidak dapat memahami, punya mata tapi tidak bisa melihat dan punya kuping tidak dapat mendengara, mereka hanya seperti binatang ternak, bahkan lebih parah dari itu lagi, mereka adalah orang-orang yang lalai.” (QS. 7/Al-A’raf: 179)
Jika sudah begini, maka jangan heran bila suatu masa sebuah negeri yang berpotensi menjadi baldatun
ṭayyibatunwa Rabbun Gafūr justru akan menjadi Negeri Kebun Binatang karena dikuasai orang-orang yang berkepribadian binatang, sebagaimana sabda Nabi berikut:
سَيَأْتِى زَمَانٌ عَلَي اُمَّتِي سَلَاطِيْنُهُمْ كَاْلاَسَدِ وَوُزَرَاءُهُمْ كَالذِّئْبِ وَقَضَائُهُمْ كَاْلكَلْبِ وَسَائِرُ النَّاسِ كَاْلاَغْنَامِ فَكَيْفَ يَعِيْشُ اْلغَنَامُ مِنَ اْلاَسَدِ وَالذِّئْبِ وَاْلكَلْبِ.
“Akan datang suatu masa kepada umatku, Kepala negaranya seperti singa, menteri-menterinya seperti serigala, penegak hukumnya seperti anjing dan rakyat hanya seperti kambing. Bagaimanalah hidup kambing bila ia berada ditengah-tengah singa, serigala, dan anjing?” (Diriwayatkan Adz-Dzahabi dari sahabat Anas bin Malik, lihat Ibnu Hajar Al-Aṡqalāny, Naṣāiḥul ‘Ibād)
Singa yang digambarkan dalam hadis ini bukanlah tentang keberanian, tapi tentang kerakusan singa yang selalu saja memburu makanan demi kepentingan pribadi dan koloni/golongannya. Sementara serigala dikenal dengan sifat gesit namun culas dan licik. Srigala dengan kawanannya bisa menggunakan berbagai cara demi menghasilkan buruan walaupun dengan jalan tidak ksatria. Adapun anjing yang suka menjilat, pandai sekali menyembunyikan kebuasannya di balik kejinakan yang dimilikinya. Tak terbayangkan bagaimana jadinya para kambing (rakyat) yang hidup dengan pemerintahan berhati hewan-hewan yang tergambar dalam hadis di atas. Maka, momentum puasa ini menjadi lahan untuk menyehatkan hati agar umat terhindar dari penyakit hati yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan bernegara. Dan tetap istikamah dalam kebersihan jiwa inilah menjadi wujud implementasi syukur setelah puasa Ramadan.
Kesyukuran Ketiga; ‘Ῑd adalah Hari Jadi Dīnullāh
“Maka hadapkanlah mukamu kepada Agama Allah yang bersih adalah Fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu.Tidak ada perubahan dalam Agama Allah, Itulah Agama yang tegakdengan tegar tepi kebanyakan manusia tak mengerti.” (QS. 30/Ar-Rum: 30)
Ayat di atas menjelaskan, bahwa:
- Islam adalah agama yang ḥanīf, artinya yang bersih dari gagasan, rekayasa pikiran dan bebas dari pencemaran adat budaya serta tradisi leluhur yang belum tentu luhur.
- Agama Islam diciptakan Allah cocok dengan fitrah manusia di zaman apa pun dan dalam peradaban mana pun.
- Tidak akan ada perubahan dalam agama Allah dan agama Allah tidak akan luntur oleh perubahan kerena patronnya telah ditinggalkan Rasulullah sebagai pusaka, yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
- Islam akan tegak berdiri tegar menantang zaman dan akan hidup di tengah-tengah peradaban yang maju pesat, kerena petunjuk Al-Qur’an selalu sesuai dengan perkembangan IPTEK dan peradaban manusia.
Dokpri |
Pada hakikatnya Idul Fithri adalah mengulang tahun hari jadi Dīnul Islām, selain dirayakan dengan membesarkan asma' Allah yang direfleksikan dengan pelaksanaan salat īd pada pagi hari bulan Syawal serta ibadah-ibadah lainnya, semestinya juga dibudayakan dengan acara seminar-seminar tentang sejarah dan dakwah Islam, mencari solusi bagaimana agar umat bisa bersatu, memandang jauh ke belakang bagaimana Nabi bisa berhasil menyatukan umat yang terpecah. Ber-idul fitri baiknya dengan melakukan kegiatan kajian tentang Dīn sebagai ciptaan Allah yang sumbernya adalah Al-Qur’an dan Sunah. Implementasi idul fitri yang tepat menjadi gambaran puncak kesyukuran kita kepada Allah kerena kita telah mendapat hidayah, sudah kembali kepada sunah-Nya.
Wallāhu a’lam
Posting Komentar