Minal Aidin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin
Oleh: Milas Suga
Ucapan "Minal ‘ā'idīn wal fā’izīn" telah menjadi budaya bahasa yang kerap disampaikan, baik secara tulisan maupun lisan pada akhir Ramadan hingga masuk bulan Syawal (Idul Fitri) setiap tahunnya. Meskipun kalimat tersebut sudah membudaya, ternyata masih banyak yang tidak memahami makna kalimat yang disampaikan tersebut secara pasti.
Sebagai tenaga
pengajar di sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi, mengawali pertemuan pertama pasca libur
Idul Fitri, saya selalu menyampaikan: “Minal ‘ā'idīn wal Fā’izīn,
Taqabbalallāh Minnā wa Minkum, Mohon Maaf Lahir dan Batin”, yang langsung
dijawab oleh peserta didik dengan: “sama-sama Pak, dan seterusnya.
Saat saya menggali sejauh mana pemahaman para peserta didik dengan ungkapan tersebut dengan mengajukan pertanyaan: “Siapa yang tahu arti “Minal ‘ā'idīn wal Fā’izīn"? Tidak sedikit yang langsung menyambar pertanyaan mudah ini dengan jawaban "Mohon maaf lahir dan batin". OK, jawab saya sambil tersenyum.
Secara acak saya menunjuk dua sampai tiga orang mahasiswa untuk kembali menanyakan
pertanyaan yang sama. Dan jawaban yang saya terima tidak berbeda dengan jawaban
yang dilontarkan secara berjamaah sebelumnya. Begitu juga saat pertanyaan
tersebut saya ajukan di unit/kelas lainnya, maka hasil jawaban tetap sama,
bahwa minal ‘ā'idīn wal fā’izīn artinya adalah mohon maaf lahir dan batin. Demikianlah
setiap tahun survey kecil-kecilan tersebut saya lakukan dalam mengawali
pembelajaran pasca Idul Fitri.
Berikutnya saya mengajak para peserta didik untuk mengartikan satu per satu kata yang
diadaptasi dari bahasa Arab tersebut:
من (min) = dari, termasuk, tergolong.
العائدين (al-‘ā'idīn) = orang-orang yang kembali
و (wa) = dan
الفائزين (al-fā’izīn) = orang-orang yang menang
Saya juga menyampaikan pendapat-pendapat dari para Ustaz populer tanah air sebagai berikut:
- Ustaz Hadi Hidayat [1]; Dalam hadis-hadis sahih yang diriwayatkan dan dibudayakan, maka saat masuk hari ‘īd para sahabat, ulama, salafuṣ-ṣāliḥ saling menyelamati dalam kebaikan dengan ucapan “Taqabballāh minnā wa minkum", semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian semua ibadah yang telah ditunaikan (diterima Allah ibadah puasa dan amalan selama Ramadan). Adapun kalimat “Minal ‘ā'idīn wal fā’izīn” muncul pada masa-masa belakangan, khususnya orang-orang Indonesia, yang berarti ‘semoga kita termasuk orang yang kembali (kepada fitrah) dan beruntung’. Dari sisi makna, keduanya mengandung doa kebaikan, maka dalam hal ini tidaklah menjadi permasalahan yang harus diperdebatkan apatah ucapan ini tergolong bid’ah atau makruh.
- Ustaz Abdul Somad [2]; Ungkapan ‘mohon maaf lahir dan batin’ adalah tradisi kita. Di beberapa negara, seperti Sudan, Maroko tidak ada tradisi meminta maaf pada hari raya Idul Fitri. Namun tradisi ini adalah tradisi yang baik, karenanya ucapan yang dianjurkan dalam Islam adalah berbentuk doa ‘Taqabballāh minnā wa minkum ṣāliḥal a’māl’, semoga Allah menerima amal salih kita/kami dan amal salih kalian semua (terutama amal-amal yang dikerjakan saat Ramadan). Adapun kalimat ‘minal ‘ā'idīn diambil dari kata Idul Fitri yang berarti kembali ke fitrah (kata Abu Hurairah, yaitu fiṭratul Islām) sedangkan ‘wal fā’izīn’ berarti semoga kita menang (diambil dari ayat "Inna lilmuttaqīna mafāzan/sesungguhnya orang yang takwa itu menang). Jadi, ungkapan "Minal ‘ā'idīn wal fā’izīn” jangan sampai di-bid’ah-kan, meskipun Nabi tidak melakukan itu.
- Buya Arrazi Hasyim [3]; Dalam riwayat Imam Albaihaqi, persoalan ini dikumpulkan dalam ragam lafal. Ditemukan ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah setelah menyelesaikan suatu ibadah: “taqabballāh minnā wa minkum". Lantas Rasul menyatakan bahwa itu adalah amalan ahlul kitab, wa karihahu (maka Nabi tidak menyukainya). Berdasarkan ini, ulama kita memakruhkan taqabbalallāh minnā wa minkum. Namun ditemukan lagi dalam riwayat yang sama (Imam al-Baihaqi dalam Kitab Sunan al-Kubrā), ternyata Beliau punya riwayat lain dari amalan ulama salafuṣ-ṣāliḥ, yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau pernah didatangi oleh seorang mantan budaknya yang bernama Adham dan berkata: “taqabballāh minnā wa minkum yā Amīral Mu’minīn. Amīral Mu’minīn merespon dengan: "na’am, taqabballāh minnā wa minkum", semoga Allah menerima dari kami (amalan kami) dan dari kalian (amalan kalian). Doa ini sangat bagus, maka berdasarkan itu Umar bin Abdul Aziz tidak mempermasalahkan kalimat itu.
- Ustaz Khalid Basalamah [4]; Hukum mengucapkan "Minal ‘ā'idīn wal fā’izīn" tidak masuk dalam kategori bid’ah. Kecuali orang yang mengucapkan menganggap kalimat tersebut adalah bagian yang harus diucapkan (bagian dari ibadah di Idul Fitri). Kalau diucapkan sebagai bentuk doa umumnya, maka boleh saja.
Dari penjelasan
keempat tokoh agama masyhur di atas teranglah, bahwa ucapan "Minal ‘ā'idīn wal fā’izīn" merupakan budaya bahasa yang baik untuk diucapkan dan disampaikan sebagai doa serta pengharapan antar-sesama muslim yang telah melaksanakan ibadah
puasa dengan benar selama Ramadan.
Minal ‘ā'idīn wal fā’izīn (semoga kita tergolong orang-orang yang kembali kepada fitrah dan orang-orang meraih kemengan). Taqabballāh minnā wa minkum (berharap semoga Allah mengabulkan dan menerima amalan kami/kita dan amalan kalian semua). Dan selanjutnya saya memohon maaf lahir dan batin atas segala kesalahan yang pernah dilakukan. Wallāhu a’lam biṣ ṣawāb
==========
- Simak penjelasan UAH pada: https://youtu.be/I6kRoKg3Wwo
- Simak penjelasan UAS pada: https://youtu.be/3mmULxRtXOU
- Simak penjelasan Buya Arrazi pada: https://youtu.be/yaRH04fnoAo
- Simak penjelasan Dr. Khalid Basalamh pada: https://youtu.be/syJulzi_YrA
Posting Komentar