Bullying: Mimpi Buruk Dunia Pendidikan Indonesia
Oleh: Dr. Syarifah Rahmah, M.Ag. (Dosen FTIK IAIN Lhokseumawe)
"Meningkatnya kasus bullying juga menjadi indikasi rendahnya kualitas pendidikan di beberapa lembaga. Sering kali, pembelajaran lebih terfokus pada aspek kognitif tanpa memperhatikan perkembangan emosional dan moral siswa"
Kekerasan dalam dunia pendidikan bukan lagi rahasia. Kasus-kasus kekerasan yang melibatkan siswa kerap muncul di berbagai media massa nasional, menjadi cerminan kelam dunia pendidikan kita. Salah satu kasus yang sempat mengejutkan publik adalah Geng Nero di Pati, Jawa Tengah, yang beranggotakan para pelajar putri. Video penganiayaan yang mereka lakukan terhadap teman sesama pelajar viral di media sosial, menjadi sorotan media nasional, dan membuka mata banyak pihak tentang sisi gelap pergaulan remaja di Indonesia. Kasus serupa bukan hanya terjadi di Pati, tetapi juga di berbagai kota besar lainnya, menunjukkan bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan adalah masalah yang serius dan meluas.
Perundungan (bullying) sebagai salah satu bentuk kekerasan ini tidak bisa dianggap enteng. Dalam banyak kasus, bullying tidak hanya menyebabkan luka fisik tetapi juga luka mental yang mendalam. Ada dua faktor utama yang memicu terjadinya bullying, yaitu: 1) Ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban, di mana pelaku sering kali lebih kuat secara fisik atau memiliki dukungan kelompok. 2) Rasa takut dan ketidakberdayaan korban yang membuat mereka enggan melawan, memilih pasrah pada situasi yang menekan mereka.
Bullying dapat terjadi di mana saja: sekolah, kampus, tempat kerja, bahkan di dunia maya. Namun, khusus di sekolah, perilaku ini sering kali dianggap sepele dan belum berbahaya, padahal dampaknya sangat serius. Bullying bisa mengakibatkan trauma mendalam, stres berkepanjangan, bahkan hingga menyebabkan kematian.
Peran media elektronik dalam membentuk perilaku kekerasan juga tidak bisa diabaikan. Tayangan yang menampilkan kekerasan sering kali menjadi contoh buruk bagi anak-anak dan remaja, membuat mereka tergoda untuk meniru. Penelitian telah menunjukkan bahwa perilaku kekerasan bisa menular melalui media. Semakin sering seseorang melihat atau menonton kekerasan di televisi, YouTube, atau media sosial lainnya, semakin besar kemungkinan mereka akan menirunya. Tidak hanya itu, lingkungan pergaulan yang tidak sehat juga berperan besar dalam menularkan perilaku buruk ini (Davidoff Ronald, et al., 1990).
Beberapa faktor lain yang dapat memicu perilaku menyimpang pada anak-anak, antara lain:
- Lingkungan: Anak-anak yang tumbuh di lingkungan kemiskinan sering kali terpapar pada perilaku negatif. Konflik keluarga yang tidak sehat, terutama yang melibatkan kekerasan, dapat membentuk pribadi anak yang agresif atau tertutup.
- Kehidupan di kota besar: Anonimitas dan gaya hidup individualistis di kota besar membuat ikatan sosial semakin longgar. Kehilangan rasa kebersamaan ini membuat anak-anak tidak mendapatkan dukungan emosional yang mereka butuhkan.
- Disiplin yang salah: Penerapan disiplin yang keras sering kali justru menimbulkan efek sebaliknya. Anak bisa tumbuh menjadi penakut dan rentan dibully, atau malah menjadi pemberontak dan pelaku kekerasan.
Meningkatnya kasus bullying juga menjadi indikasi rendahnya kualitas pendidikan di beberapa lembaga. Sering kali, pembelajaran lebih terfokus pada aspek kognitif tanpa memperhatikan perkembangan emosional dan moral siswa.
Di sinilah peran keluarga menjadi sangat penting. Keluarga adalah tempat pertama di mana nilai-nilai akidah, adab, akhlak, dan ibadah seharusnya diajarkan dengan penuh cinta dan kesadaran. Kedamaian dan kebahagiaan dalam keluarga, serta keteladanan dari orang tua, akan membantu anak membentuk karakter yang kuat. Selain itu, sekolah harus berperan sebagai ruang diskusi yang memungkinkan siswa berpikir kritis terhadap realitas kehidupan yang ada. Guru, sebagai sosok yang digugu dan ditiru, harus mampu membimbing siswa menemukan jati diri mereka.
Kasus bullying harus menjadi peringatan bagi kita semua, bahwa setiap individu—baik siswa, guru, orang tua, maupun masyarakat—memiliki tanggung jawab untuk menghentikan budaya kekerasan ini. Jika kita hanya diam, membiarkan bullying terjadi, maka kita menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Sudah saatnya kita bergerak untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi generasi muda kita.
Pertama-tama, sekolah harus menjadi tempat yang bebas dari kekerasan. Guru dan staf harus dilatih untuk mendeteksi tanda-tanda bullying lebih awal, meresponsnya dengan tepat, dan membangun hubungan yang penuh empati dengan siswa. Orang tua juga memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak mereka tentang pentingnya menghormati orang lain dan membela mereka yang rentan. Di luar itu, teman sebaya harus diajarkan untuk tidak berdiam diri ketika melihat bullying, tetapi berani bertindak sebagai pelindung, bukan hanya sebagai penonton.
Media sosial dan platform online juga harus lebih bertanggung jawab. Setiap orang yang menggunakan teknologi ini perlu mengerti bahwa posting atau komentar mereka bisa melukai orang lain. Kampanye edukasi yang lebih luas perlu digalakkan, baik di sekolah, keluarga, maupun komunitas, tentang pentingnya anti-bullying. Kita semua dapat memulai langkah kecil dengan bersikap lebih peduli dan bertindak tegas terhadap segala bentuk kekerasan.
Akhirnya, mari kita semua menjadi agen perubahan. Jika kita tidak mulai sekarang, mimpi buruk kekerasan akan terus menghantui dunia pendidikan kita. Masa depan bangsa ada di tangan anak-anak kita—mereka layak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, kedamaian, dan penghormatan terhadap satu sama lain.
Tags : Artikel Opini Pendidikan
Posting Komentar