Blended Learning dan Identitas Islami: Menjawab Tantangan Pascasarjana UIN SUNA Lhokseumawe
Oleh: Salabi, A. S. (Dosen Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe)
"Blended learning di Pascasarjana UIN SUNA Lhokseumawe adalah fleksibilitas yang bukan berarti menurunkan kualitas, tetapi justru membuka akses pada pengalaman belajar yang lebih luas
dan mendalam"
Dunia pendidikan tinggi, khususnya di tingkat pascasarjana, kini berada dalam titik persimpangan: antara tradisi akademik yang mapan dan tuntutan fleksibilitas zaman. Kita dihadapkan pada perubahan gaya hidup mahasiswa pascasarjana yang mayoritas sudah bekerja, pesatnya transformasi digital, dan kebutuhan akan model pembelajaran yang tidak hanya efisien, tetapi juga tetap bermakna.
Sebagai bagian dari Universitass Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah (UIN SUNA) Lhokseumawe, sebuah kampus Islam negeri di Aceh, saya menyaksikan sendiri bagaimana Pascasarjana merespons tantangan tersebut secara progresif. Salah satu langkah visioner yang akan dikembangkan - "walau pun sedikt terlambat" - adalah penerapan sistem blended learning dengan komposisi 50% daring dan 50% luring pada TA. 2025/2026, sebuah pendekatan yang menurut saya sangat relevan untuk konteks pendidikan pascasarjana masa kini.
Mengapa Blended Learning?
Pertama, blended learning adalah jawaban paling nyata atas kebutuhan fleksibilitas mahasiswa pascasarjana. Sebagian besar mahasiswa kami adalah ASN, dosen, guru, Polri, Teungku Dayah, serta profesional dari berbagai sektor. Mereka ingin melanjutkan studi tanpa harus mengorbankan profesi atau peran sosial mereka. Sistem blended learning menjembatani kebutuhan itu, dengan tetap menjaga intensitas dan kualitas akademik.
Kedua, blended learning bukan sekadar solusi teknis, melainkan bentuk adaptasi kampus terhadap perubahan zaman. Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dunia digital telah mengubah cara kita bekerja, belajar, bahkan berpikir. Namun, pendidikan tetap membutuhkan ruang-ruang tatap muka untuk diskusi ilmiah, pembangunan karakter, dan transfer nilai yang lebih dalam. Kombinasi antara daring dan luring memungkinkan keduanya berjalan beriringan.
Ketiga, yang tidak kalah penting, identitas keislaman kampus tetap menjadi ruh dalam sistem ini. Blended learning di Pascasarjana UIN SUNA Lhokseumawe bukan semata soal efisiensi, melainkan juga medium untuk membentuk kepribadian islami, menanamkan nilai-nilai integritas, dan membangun kepekaan sosial.
Dari Aspirasi Mahasiswa ke Arah Kebijakan Inovatif
Gagasan ini bukan hadir secara tiba-tiba. Ia lahir dari berbagai diskusi hangat bersama mahasiswa aktif dan alumni, yang sebagian besar mengungkapkan kebutuhan akan fleksibilitas yang lebih baik. Sebelumnya, model perkuliahan yang diterapkan adalah 60% tatap muka dan 40% non-tatap muka. Namun, sistem itu belum sepenuhnya menjawab dinamika waktu mahasiswa, karena penjadwalan sesi daring cenderung tidak serentak dan sering menyulitkan penyesuaian.
Kini, dengan mencanangkan skema perkuliahan daring sebesar 50% secara lebih terstruktur dan terencana, diharapkan kualitas tidak dikorbankan, namun justru diperkuat. Model ini adalah bentuk keberpihakan kampus terhadap mahasiswa yang ingin terus belajar tanpa harus meninggalkan tanggung jawab profesional mereka.
Dukungan Fasilitas dan Citra Kampus Islam Modern
Sebagai dosen di lingkungan Pascasarjana, saya menyaksikan sendiri bahwa sistem ini akan berjalan efektif karena didukung oleh fasilitas digital yang memadai. Ruang kuliah telah berbasis multimedia, sistem informasi akademik terintegrasi secara online, dan lokasi kampus yang strategis di pinggir jalan lintas nasional, membuatnya mudah diakses dari berbagai arah.
Soal pembiayaan? Sangat rasional. Biaya kuliah berkisar Rp 5 juta untuk program Magister dan Rp 8 juta untuk program Doktor per semester, menjadikannya pilihan yang sangat terjangkau bagi kalangan profesional.
Menghadirkan Dosen Nasional dan Internasional Lewat Perkuliahan Daring
Blended learning semakin istimewa karena Pascasarjana UIN SUNA Lhokseumawe mampu menghadirkan dosen-dosen tamu berskala nasional dan internasional melalui perkuliahan daring. Mahasiswa Pascasarjana kini dapat berdialog langsung dengan para pakar dari dalam dan luar negeri, tanpa harus meninggalkan kota tempat tinggal atau tempat kerja mereka.
Beberapa di antaranya termasuk: Prof. Dr. Alparslan Açikgenç dari Ibn Haldun University Turki, Prof. Dr. Irwan Abdullah dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Imam Fuadi dari UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Dr. Lailatul Usriyah dari UIN KHAS Jember, Prof. Dr. Azharsyah dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. Ismail Fahmi Arrauf Nasution - Rektor IAIN Langsa, dan tentu masih banyak tokoh akademik lainnya yang telah mengisi kuliah di berbagai program studi seperti Magister Komunikasi Penyiaran Islam, Magister Manajemen Pendidikan Islam, Magister Pendidikan Agama Islam, Magister Hukum Keluarga Islam, Magister Ekonomi Syariah, hingga Program Doktor Studi Islam. Ini adalah bukti nyata bahwa fleksibilitas bukan berarti menurunkan kualitas, tetapi justru membuka akses pada pengalaman belajar yang lebih luas dan mendalam.
Penutup: Belajar Fleksibel, Tetap Berkhidmat
Bagi saya pribadi, kampus pascasarjana ideal adalah yang tidak hanya fokus pada capaian akademik, tetapi juga menghadirkan pengalaman belajar yang menyenangkan, efektif, dan relevan. Blended learning menjadi kunci agar mahasiswa tidak hanya “menyelesaikan SKS”, tetapi tumbuh sebagai pembelajar seumur hidup yang terhubung secara aktif dengan dunia akademik.
Pascasarjana UIN SUNA Lhokseumawe tidak hanya menawarkan gelar, tapi juga komitmen untuk mendampingi mahasiswa menjadi insan akademik yang unggul dan beretika. Inilah wajah baru pascasarjana: fleksibel, digital, dan tetap kokoh berkhidmat pada nilai-nilai Islam.
#Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe – Fleksibel Belajar, Kokoh Berkhidmat.
Sub YouTube Channel
Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:
Tags : Artikel Kampus Opini Pendidikan
Posting Komentar