Transmisi Ilmu melalui Talaqqī dan Baḥṡul Masā’il Kitab Kuning di Dayah Nahdhatul 'Ulum Aceh Utara
Oleh: Siddik Alfaid, Rahmad Fitrariansyah, Rizki Ananda Putra
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, IAIN Lhokseumawe)
Pendahuluan
Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional telah memainkan peran sentral dalam melestarikan dan mentransmisikan khazanah ilmu-ilmu keislaman di Nusantara, khususnya di Aceh. Selain menjadi pusat pendidikan agama, dayah juga berfungsi sebagai institusi sosial yang membentuk karakter, spiritualitas, dan nilai-nilai keislaman generasi muda. Menurut Takdir (2018), pesantren atau dayah adalah lembaga pendidikan berbasis asrama, dipimpin oleh kiai atau teungku, dengan masjid sebagai pusat aktivitas utamanya.
Seiring perkembangan zaman, pesantren dan dayah di Aceh bertransformasi menjadi lembaga yang tidak hanya mengajarkan kitab kuning, tetapi juga mulai merespons kebutuhan keterampilan dan ilmu-ilmu kontemporer (Azra, 2012; Bashori dkk., 2022). Meskipun demikian, inti dari transmisi keilmuan di dayah tetap menggunakan sistem klasik seperti sorogan dan bandongan, yang terbukti efektif dalam memperdalam pemahaman terhadap teks-teks turats atau literatur klasik Islam (Bruinessen, 1994).
Tulisan ini menyoroti Dayah Nahdhatul 'Ulum di Bayu, Aceh Utara, sebagai studi kasus bagaimana tradisi ilmiah tersebut dipertahankan, dikontekstualisasikan, dan sekaligus diadaptasi terhadap tantangan masa kini.
Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data diperoleh melalui studi pustaka, observasi lapangan, dan wawancara mendalam dengan pihak dayah, seperti pengasuh, guru, dan santri. Analisis dilakukan secara deskriptif untuk memetakan kurikulum, metode pembelajaran, serta dinamika hubungan antara teungku dan santri.
Sejarah dan Perkembangan Dayah Nahdhatul 'Ulum
Dayah Nahdhatul 'Ulum berdiri pada 11 Desember 1965, didirikan oleh Tgk. Hasan bin Tgk. Abdul Mutalleb di Gampong Beunot, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Sejak 1987, kepemimpinan dilanjutkan oleh Tgk. H. Muhammad Yusuf Ilyas, seorang ulama alumnus Dayah Salafi Darul ‘Ulum Tanoh Mirah yang belajar selama 16 tahun di bawah asuhan Abu Tanoh Mirah.
Di bawah kepemimpinan beliau, dayah ini tumbuh menjadi lembaga yang dinamis: memperbaiki manajemen pendidikan, memperkaya kegiatan ibadah, membina karakter santri, hingga menyediakan fasilitas pendukung seperti koperasi santri. Santri dididik untuk memiliki kedisiplinan tinggi, mempraktikkan nilai-nilai keislaman secara konsisten, dan aktif dalam kegiatan seperti khutbah malam Jumat. Visi dayah ini selaras dengan semangat Ahlussunnah wal Jama'ah, yang mengutamakan keseimbangan antara ilmu, amal, dan akhlak (Madjid, 1997).
Transmisi Ilmu dan Kurikulum Kitab Kuning
Dalam konteks pendidikan Islam tradisional di Aceh, transmisi keilmuan tidak hanya dimaknai sebagai pemindahan pengetahuan, tetapi lebih sebagai pewarisan nilai, adab, dan cara berpikir yang menghubungkan generasi santri dengan tradisi ulama masa lalu (Hefner, 2009). Proses ini dikenal luas di Aceh dengan istilah talaqqī, yaitu pembelajaran langsung di mana teungku (guru) membaca dan menjelaskan kitab kepada santri, sedangkan santri mendengar dengan khusyuk, mencatat, dan mengkajinya kembali.
Selain talaqqi, dayah di Aceh juga memiliki tradisi baḥṡul masā’il, yaitu forum diskusi ilmiah di mana santri diajak menelaah persoalan-persoalan keagamaan kontemporer dengan tetap merujuk pada kitab kuning dan pendapat ulama terdahulu. Forum ini menjadi ruang penting untuk melatih daya nalar kritis santri, sekaligus menjaga relevansi ajaran Islam dengan dinamika masyarakat.
Menariknya, metode talaqqī dan baḥṡul masā’il ini memiliki kemiripan fungsi dengan metode sorogan dan bandongan yang populer di pesantren wilayah Jawa (Bruinessen, 1995). Perbedaannya terletak pada istilah dan konteks budaya lokal: di Aceh, suasana belajar cenderung lebih kental dengan nilai kolektivitas, serta kedekatan emosional antara santri dan teungku yang tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pembimbing spiritual dan teladan akhlak.
Sebagaimana ditegaskan Azra (2012), transmisi ilmu di pesantren dan dayah bukan hanya soal mentransfer isi kitab, tetapi juga pewarisan “habitus keilmuan” yang mencakup akhlak, kesabaran, ketekunan, serta penghormatan terhadap guru dan tradisi.
Struktur Kurikulum dan Kitab-Kitab yang Diajarkan
Kurikulum di Dayah Nahdhatul 'Ulum disusun secara bertahap dan sistematis, menyesuaikan tingkat kemampuan santri dari kelas satu hingga kelas enam. Pola ini memadukan kitab-kitab dasar (matan) dengan kitab-kitab penjelas (syarah dan hasyiah) agar santri memahami isi teks sekaligus konteks dan argumentasi di baliknya.
Materi yang diajarkan mencakup berbagai cabang utama ilmu keislaman, di antaranya:
- Fikih: Mulai dari Matan al-Ghayah wa at-Taqrib, Hasyiah al-Bajuri, I’anatuth Thalibin, hingga Al-Mahalli. Kitab-kitab ini mengajarkan kaidah fiqh secara bertahap, dari ringkasan hingga penjabaran mendalam.
- Tauhid: Seperti Matan Sanusiyyah, Kifayatul Awam, dan Hasyiah ad-Dusuqi yang memperkuat pemahaman akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
- Tasawuf: Ta’limul Muta’allim, Daqaiqu al-Akhbar, hingga Muraqi al-‘Ubudiyyah yang membimbing santri membangun spiritualitas dan akhlak.
- Nahwu dan Sharaf: Al-Jurumiyyah, Mutammimah, Syarah Qathrun Nada, hingga Alfiyyah Ibnu Malik, sebagai fondasi penguasaan bahasa Arab.
- Tafsir dan Hadis: Tafsir al-Jalalain, Nurul Yaqin, al-Arba’in an-Nawawiyah, Syarah al-Baiquniyyah, yang membantu santri memahami sumber ajaran Islam secara mendalam.
- Ilmu alat dan pendukung: Seperti Mantiq (logika), Balaghah, Ma’ani, dan Badi’ untuk melatih penalaran kritis dan estetika bahasa.
Penyusunan kitab-kitab ini mengikuti tradisi pendidikan Islam klasik, sebagaimana dijelaskan Azra (2012), yakni diawali dari teks ringkas sebagai pengantar sebelum masuk ke penjelasan yang lebih detail dan mendalam. Pendekatan bertahap ini memastikan santri tidak hanya hafal isi kitab, tetapi juga paham metodologi, konteks, serta kemampuan mengkritisi dan mengamalkan ilmu.
Dengan demikian, kurikulum Dayah Nahdhatul 'Ulum bukan hanya menjadi sarana transfer pengetahuan, tetapi juga membangun kepribadian, karakter, dan spiritualitas santri agar siap terjun ke tengah masyarakat dengan landasan ilmu dan adab.
Penutup
Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, Dayah Nahdhatul 'Ulum tetap memegang peran penting dalam menjaga tradisi transmisi ilmu-ilmu keislaman di Aceh. Dengan pendekatan kurikulum kitab kuning, metode pengajaran khas pesantren, serta kepemimpinan yang adaptif, dayah ini bukan hanya sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga pusat pembentukan akhlak, spiritualitas, dan kepribadian santri.
Keberhasilan dayah ini terletak pada kemampuannya memadukan antara pelestarian tradisi dengan inovasi, menjawab tantangan zaman, dan tetap menjaga jati diri sebagai lembaga yang berlandaskan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama'ah. Dengan demikian, Dayah Nahdhatul 'Ulum menjadi bagian penting dari rantai panjang transmisi keilmuan Islam di Aceh dan Nusantara.
Daftar Pustaka
Azra, A. (2012). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Kencana.
Bruinessen, M. V. (1995). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Mizan.
Hefner, R. W. (2009). Islamic Schools, Social Movements, and Democracy in Indonesia. Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 55-105.
Madjid, N. (1997). Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Takdir, M. (2018). Modernisasi Kurikulum Pesantren. IRCiSoD.
Bashori, B., Novebri, N., & Salabi, A. S. (2022). Budaya Pesantren: Pengembangan Pembelajaran Turats. Al Mabhats: Jurnal Penelitian Sosial Agama, 7(1), 67–83. https://doi.org/10.47766/almabhats.v7i1.911.
Sub YouTube Channel
Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:
Posting Komentar