Minggu, 24 Agustus 2025

Biar Tekor Asal Kesohor: Antara Kebutuhan Menjaga Citra dan Pentingnya Bersikap Realistis


Oleh: Salabi, A.S. (Dosen Pascasarjana UIN-SUNA Lhokseumawe)

"Kesohoran sejati tidak datang dari sikap yang memaksakan diri, melainkan dari konsistensi menjaga nilai kejujuran, kesederhanaan, dan ketulusan"

Dalam masyarakat kita ada satu ungkapan yang cukup populer: “biar tekor asalkan kesohor.” Ungkapan ini lahir dari realitas sosial, di mana seseorang atau kelompok rela merugi secara materi demi menjaga citra, kebanggaan, atau agar dianggap terpandang oleh orang lain.

Jika ditarik pada sisi positif, sikap ini mencerminkan budaya luhur yang sangat menghargai tamu dan sahabat. Tuan rumah sering kali berupaya sebaik mungkin menjamu, menyediakan hidangan, bahkan terkadang memaksakan diri agar tamu merasa dihormati. Dalam konteks ini, “biar tekor asalkan kesohor” sesungguhnya adalah wujud keramahtamahan, keinginan untuk menjaga nama baik, sekaligus strategi memperluas jejaring sosial. Citra baik memang tidak ternilai, dan dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi gotong-royong serta silaturahmi, hal itu bisa menjadi investasi sosial jangka panjang.

Namun, di sisi lain, fenomena ini ibarat lilin yang rela membakar diri demi memberi cahaya pada sekitarnya. Gengsi dan citra kadang membuat seseorang mengabaikan kemampuan diri. Tidak sedikit yang akhirnya terjebak dalam sikap konsumtif, menguras tabungan, bahkan berutang, hanya demi menjaga penampilan atau status sosial. Jika dibiarkan, budaya ini bisa menjadi beban, bukan lagi kebanggaan.

Fenomena ini kian terasa nyata di era media sosial. Demi terlihat sempurna di Instagram atau TikTok, banyak orang rela mengeluarkan biaya besar: berwisata ke tempat yang sedang tren meski harus berhutang, membeli barang bermerek walau cicilannya menyesakkan, atau memesan makanan mewah semata-mata agar bisa dipamerkan dalam feed yang estetik. Di balik foto-foto indah yang penuh senyum, sering tersembunyi keresahan finansial yang nyata. Sekali lagi, tekor demi kesohor.

Padahal, jika direnungkan, kesan di media sosial bersifat semu dan sementara. Hari ini ramai dibicarakan, besok sudah tenggelam oleh unggahan baru. Sementara dampak ekonomi akibat memaksakan diri bisa berlangsung lama. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana manusia sering terjebak dalam jebakan citra, lupa bahwa yang lebih penting dari sekadar tampil hebat adalah hidup dengan tenang dan apa adanya.

“Biar tekor asalkan kesohor” mengajarkan kita tentang tarik-menarik antara kebutuhan menjaga citra dan pentingnya bersikap realistis. Kita memang diajarkan untuk berbuat baik  kepada tamu dan menghormati, serta menjaga harga diri. Tetapi kebaikan tidak harus diukur dari seberapa besar pengeluaran. Ketulusan, kehangatan, dan sikap menghargai jauh lebih bermakna ketimbang sekadar kemewahan jamuan atau unggahan "wah" di dunia maya.

Pada akhirnya, kesohoran sejati tidak datang dari sikap yang memaksakan diri, melainkan dari konsistensi menjaga nilai kejujuran, kesederhanaan, dan ketulusan. Jika tidak, kita hanya akan menjadi lilin yang habis dalam proses, tanpa menyisakan apa-apa bagi diri sendiri.

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Tags :

bm
Created by: Admin

Media berbagi informasi dan pembelajaran seputar Pendidikan Islam (PEDI), Manajemen Pendidikan Islam (MPI), dan Lembaga Pendidikan Islam.

Posting Komentar

Ikuti Channel YouTube

Connect