Kamis, 06 Mei 2021

Air itu Seharusnya Mengalir

Oleh: Mahmud Hamzah Lubis*

“Karena sungguh kulihat, air itu rusak karena tertahan, jika air itu mengalir, maka air itu akan jernih, jika menggenang, air itu keruh.” 

Cerita air sungai dari pegunungan 
Akhir-akhir ini, aku menikmati berada di tempat ketinggian. Kalau ada waktu senggang, aku biasanya akan segera memacu sepeda motor di jalanan yang membelah pegunungan dan hutan belantara di kawasan Gunung Salak, Kecamatan Nisam Antara, Kabupaten Aceh Utara, kira-kira 56 km. dari Kota Lhokseumawe. Atau, ngopi di café atas salah satu gedung tertinggi di kota Lhokseumawe, menikmati panorama kota dengan hamparan laut yang menghadap ke Selat Malaka. Menuju rimba belantara Gunung Salak, sering aku menyempatkan waktu untuk singgah ke sungai Krueng Tuan (sekitar 46 km. dari Kota Lhokseumawe). Menyusuri jalanan kampung penuh batu dengan jarak lebih kurang 1 km., aku sampai ke tepi sungai yang jernih, sejuk dan dihiasi bebatuan besar. 

Sungai ini menjadi pembatas dua kampung. Sungainya masih alami dan bersih, karena jarang didatangi pengunjung. Di sungai dangkal ini, aku menikmati duduk di atas sebongkah batu berukuran sedang. Dengan kaki terendam di dasar sungai yang berpasir dan berbatu, aku serius mengamati alur air yang mengalir deras, menembus celah-celah bebatuan sungai. Aku merenung, bertafakur, bahkan nyaris tertidur karena belaian angin yang lembut. Mencoba menangkap suara gemericik air yang tiada henti bertasbih dan memuji Sang Khalik. Mengikuti deburan air yang pecah menghantam bebatuan laksana intan berlian yang penuh warna pelangi. Membiarkan tiap tetesannya jatuh membasahi dan menyejukkan hangatnya permukaan bebatuan yang terjemur di bawah teriknya sinar matahari. Subḥānallāh, Walḥamdulillāh, Wa Lā Ilāha illallāh, Wallāh Akbar. Lā Ḥawla Walā Quwwata illā Billāh...

Air itu mengalir dan asap itu melayang 
Sedetik kemudian aku teringat dengan perkataan Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi atau lebih dikenal sebagai Imam al-Syafi’i (lahir di Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H./767 M. dan wafat di Fusthat, Mesir, 204 H./819 M.), seorang mufti besar Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i; “Orang yang berilmu dan beradab tidak boleh hanya berdiam diri di kampung halamannya. Tinggalkan negerimu dan hiduplah terasing di negeri orang. Merantaulah, akan kau dapati pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah, karena indahnya kehidupan ini hanya dapat dirasa dengan perjuangan. Sungguh kulihat air itu rusak karena tertahan, jika air itu mengalir, maka air itu akan jernih, jika menggenang, air itu keruh.” 

Aku tercenung, di pinggir sungai itu. Ada rerumputan yang sedang bergoyang yang mungkin bisa aku tanyai, 'seperti yang Ebiet G. Ade sarankan', di mana kira-kira air itu akan tertahan. Kapan ia lelah dan memutuskan untuk berhenti mengalir? Aku tak mendengar jawaban apa pun dari rerumputan yang sudah enggan menari lagi. Lagi pula, selain Archimedes, siapa yang peduli? Jawabannya; Gesang, di lagu Bengawan Solo; 'air meluap sampai jauh, dan akhirnya ke laut'. Ya, air itu akan tetap mengalir, hingga semua air di bumi ini akan bertemu di hulu dan hilir serta bersama-sama menuju lautan; padang mahsyar-nya seluruh tetesan air di bumi. 

Air adalah salah satu ciptaan Allah yang paling tawāḍu’. Air tidak suka dengan ketinggian atau berada di tempat yang tertinggi. Jika berada di ketinggian, air akan mencari jalan untuk turun. Air, dengan ikhlas mengalir ke permukaan yang lebih rendah tanpa beban. Ia akan menyejukkan sekitarnya, mengairi, serta menyuburkan tanah yang dilewatinya tanpa pamrih. Jalan air adalah jalan kehidupan penuh kebajikan dan ketulusan. Air selalu mewariskankan bukan hanya sekadar menawarkan kebaikan dan perbaikan di jalan mana saja yang ia lalui. Karena kodratnya dan sifat alamiahnya atau dengan bahasa akidah “sunatullah”, maka air tak suka berlama-lama di satu tempat, apalagi tempat yang tinggi. Ia harus cepat mengalir atau berpindah tempat. Jika tidak, maka najis, bakteri, dan kuman akan mencemarinya. 

Begitulah, seperti air, untuk menjadi lebih baik, manusia juga tidak boleh terlalu lama berada hanya di satu tempat. Dalam kondisi ini, lawan air adalah asap. Jika air mengalir ke bawah, maka sebaliknya asap tidak senang di tempat yang rendah. Asap akan mencari jalan ke atas. Ia akan terus mencari celah dan melayang mencari tempat yang paling tinggi, atau pasrah dibawa angin. Tapi asap juga tak mampu ke atas jika suhu dingin karena angin membawa uap air. Bagaimana pun juga, asap dengan cepat hilang tak berbekas dan cepat terlupakan. Seburuk-buruknya asap, ketika sudah naik ke atas, orang akan segera melupakannya atau bahkan tidak menganggapnya pernah ada. Asap itu terlihat dengan kasat mata, tapi tak bisa disentuh. Dalam logika kita, asap mungkin bisa kita analogikan dengan kesombongan, karena tidak menginginkan tempat kecuali tempat teratas serta tak bisa disentuh. 

Asap musuhnya air. Jika air bersifat tawāḍu’, maka asap bersifat takabbur. Seperti asap, maka orang yang sombong niscaya akan segera dilupakan, dianggap tidak pernah ada. Karena itu, salah seorang makhluk Allah yang paling sombong, Fir’aun, harus dibinasakan oleh makhluk Allah yang paling tawāḍu’ yaitu air. Sama halnya seperti uap air yang dibawa angin untuk melumpuhkan kesombongan asap agar tak mampu naik ke angkasa. Demikian juga Fir’aun, supaya tidak dilupakan seperti asap, maka Allah membiarkan jasad Fir’aun yang fana tetap utuh. supaya manusia sampai akhir zaman tidak melupakan kesombongan Fir’aun, serta mengambil i’tibār darinya. 

Air yang baik dan suci 
Jika seorang Fir’aun dengan jubah kesombongannya mendapat “kehormatan” dikekalkan hingga akhir zaman, maka air yang tawāḍu’-pun harus dikekalkan. Jika kesombongan dikekalkan dengan jasad yang fana yang tidak lagi berdaya, maka air dikekalkan dengan kebaikan yang terus mengalir. Karena itu, aku berselawat, mencoba mengingat perjuangan seorang sayyid al-basyar yang hidupnya dipenuhi kebajikan yang terus menerus mengalir seperti air hingga saat ini. Menjelang umur 40 tahun, laki-laki santun rupawan nan mulia yang digelari oleh kaumnya sebagai al-Amīn itu tiba-tiba berubah. Ia suka menyendiri di tempat yang tinggi pada bulan Sya’ban yang akan segera berganti Ramadan. Manusia terbaik yang bernama Muhammad ibn Abdullah itu bergegas meninggalkan rumahnya. Ia berangkat seorang diri. Hanya membawa bekal secukupnya seperti roti, gandum, dan air minum, laki-laki mulia itu mendaki menuju Gua Hira di Jabal Nur, sekira 2 mil dari Makkah. Lebih kurang 3 tahun ia berada di Gua itu. Ia hanya turun sebentar untuk menghilangkan jenuh, kemudian naik lagi ke Gua Hira untuk ber-’uzlah, menyendiri, dan tafakkur, merenung. 

Dari ketinggian Gua Hira, sesekali ia memandang jauh ke kota di bawah sana, kota kelahirannya Makkah. Di kota Makkah dan kota-kota yang pernah ia singgahi, masyarakat hidup dengan kejahiliyahannya. Ia gelisah, ia sadar telah “membaca” keadaan kaumnya dan harus memperbaikinya, tapi belum tahu kapan waktunya tiba. Ketika waktunya tiba, seperti air, laki-laki mulia itupun harus segera turun dari ketinggian Gua Hira. Allah telah menugasi beliau menjadi Pembawa risalah, menjadi Utusan-Nya, Pembawa kabar baik dan peringatan bagi umat manusia. Memperbaiki akhlak, serta menyeru seluruh umat pada kalimah yang satu lā Ilāha illallāh. Nabi Besar itupun harus turun dengan penuh rasa gusar usai bertemu Malaikat Jibril, sekaligus membawa amanah wahyu perdana dari Allah “iqra’”. 

Lebih kurang 53 tahun, Rasulullah berdiam di kampung halaman yang dirintis oleh nenek moyang beliau Nabi Ismail ibn Ibrahim ‘alaihimāssalām, Makkah. Di kota ini beliau menyebarkan dakwahnya selama kurang lebih 13 tahun tanpa sekali pun mengeluh. Tapi perjuangan menegakkan risalah Tuhan belum selesai. Air harus segera mengalir lagi. Pada akhirnya, Allah memerintahkan Nabi untuk hijrah bersama dengan orang-orang mukmin lainnya, menuju Yatsrib, yang kelak menjadi kota berperadaban (Madinah). Di kota inilah Nabi melanjutkan perjuangannya. 

Sirah Nabi, seperti kisah air yang baik, air yang suci lagi mensucikan. Nabi penutup ini tak boleh berlama-lama di kampung halamannya. Ia harus segera berhijrah. Kebaikan tidak boleh hanya dilakukan di satu tempat saja. Jika terlalu lama bertahan di satu tempat, seperti air yang tergenang, maka manusia terbaik dan tersantun pun bisa dirusak dan dizalimi oleh bakteri kemusyrikan dan virus kemungkaran. 

Kita adalah air yang mengalir 
Begitulah air. Sehina-hinanya air, bahkan darinya terbentuk manusia paling mulia di alam semesta. Darinya juga terbentuk manusia paling laknat di muka bumi. Di mana pun air berada, ia adalah sumber kehidupan, bahkan air di dalam got yang menggenang bisa menjadi habitat kecebong dan jentik-jentik nyamuk. Tapi sebaik-baik air tentunya adalah air yang mengalir. Kita seharusnya menjadi air itu. Maka, jika saat ini kita sudah terlalu lama tergenang atau terlalu lama di “atas”, segeralah bergerak maju, move on, turun, blusukan atau bahkan turun tahta sekalian. Di bawah sana banyak orang-orang yang perlu dipuaskan dahaganya (bisa jadi karena mengincar posisi di “atas” atau karena memang membutuhkan kebaikan kita). Alirilah air kebajikan dengan tulus dan ikhlas lillahi wa li mardhotillahi Ta’ala. Bagaimanapun kebaikan itu akan tumbuh, bahkan di tanah kering, jika diairi oleh kebaikan itu sendiri. Riilnya, apapun profesi, jabatan, kekuasaan dan kekayaan yang disandang, maka gunakan untuk kebaikan dan maslahat bagi agama dan orang banyak. Itulah filosofi air mengalir. 

Aku tersentak, akupun segera bergegas turun dari batu di pinggiran sungai itu. Segera aku beranjak keluar dari kawasan hutan yang berada di ketinggian lebih kurang 1300 meter dari permukaan laut itu. Aku malu kepada air, terlebih lagi kepada Sang Nabi ṣallallāh ‘alaih wa sallam, kelak jika bertemu (Insya Allah). Meneladani filosofi air sekaligus juga menghindari filosofi asap, aku tidak mau berlama-lama di tempat yang tinggi, kecuali jika kelak ditempatkan di Surga yang tertinggi (Amin ya Rabb). 
Ini saatnya, aku harus mengalirkan kebaikan. Bagiku, ini adalah fase hijrah kedua. Fase hijrah pertama, adalah ketika aku memulai untuk safar (merantau). Sebelum tahun 2008, aku tidak pernah merasa benar-benar safar untuk meninggalkan kota kelahiran, Medan. Meski sejak tahun 1990 (awal masuk Pesantren) sampai dengan 2007 aku bahkan juga nyaris tidak pernah di Medan atau tinggal di rumah orang tua. Karena itu, aku tidak pernah benar-benar pamit pada orang tua, sanak saudara, tetangga, dan teman-teman. Tapi, seperti yang orang bijak sampaikan, hidup harus mengalir seperti air. Maka, tahun 2008, aku menikah dan aku harus pamit untuk meninggalkan kampung halaman, bersusah payah, serta menikmati dinamika dan keindahan hidup berjuang. Juga seperti yang dikatakan Imam al- Syafi’i; di perantauan, kita akan mendapat pengganti, atau mungkin juga kompensasi yang lebih baik dari semua yang kita tinggalkan. Lagi pula, aku sudah punya prasyarat utama untuk “mengalir", yaitu ilmu dan adab, setidaknya itu yang disyaratkan oleh Imam al-Syafi’i. Maka tidak layak lagi bagiku untuk berdiam di kampung halaman. 

Kembali ke fase hijrah kedua, fase yang bagiku pribadi adalah fase manusia dewasa. Fase di mana Allah dengan rahmān-Nya telah mengkaruniakan umurku 40 tahun. Meneladani sirah Nabi, umur 40 adalah golden age manusia. Jika dimanfaatkan dengan arif, maka mungkin saja ini adalah fase akhir produktivitas manusia untuk melakukan ‘amal ṣāliḥ yang diridai Allah; perubahan yang lebih baik untuk diri, dan untuk keturunan (ẓurriyāt), serta sebagai wajud rasa syukur atas nikmat Allah. Di fase ini juga, manusia bersiap untuk mewariskan kebaikan materil dan moril untuk keturunannya agar bisa bermanfaat untuk manusia lainnya. Maka, renungkan ayat 15 surat al-Aḥqāf, yang artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. 

Menakjubkan, bagaimana Allah menggambarkan fase kehidupan manusia, terutama di usia 40-an tahun. Dengan jelas, bahwa umur 40-an adalah umur yang tepat untuk lebih banyak bersyukur dan belajar menjadi air yang “mengalir” menebar kebaikan di sisa umur sebelum “pulang” ke “kampung terakhir”. Dengan demikian, sepanjang aliran kebaikan tadi meninggalkan kebaikan pula terutama untuk ẓurriyāt (keturunan/anak cucu). Bagaimana pun, sebenarnya ini bukan cerita tentang aku. Ini cerita tentang bagaimana kita seharusnya menjadi air yang “baik”. 

Tulisan ini hanyalah refleksi diri yang berusaha untuk menjadi setetes air yang ikut mengalir bersama tetesan-tetesan air lainnya sebelum kembali dipaksa “pulang” ke kampung halaman yang sebenarnya “dārul akhirah”. Karena itu, jalan yang kita pilih seharusnya memang jalan kebaikan, jalan air; air yang suci lagi mensucikan; menjadi manusia yang baik lagi membawa kebaikan. Memang, air itu seharusnya mengalir. 

Wallahu a’lam bi aṣ-ṣawāb 

*Disadur dari tulisan Mahmud Hamzah Lubis, M.A. (Owner Elmaha Comp.), dalam buku Antologi: Logika Kemuliaan Hidup; Menjaga Tradisi Mewarisi Modernitas, 2018.

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Tags :

bm
Created by: Admin

Media berbagi informasi dan pembelajaran seputar Pendidikan Islam (PEDI), Manajemen Pendidikan Islam (MPI), dan Lembaga Pendidikan Islam.

Posting Komentar

Ikuti Channel YouTube

Connect