Senin, 03 Mei 2021

Jadilah Orang yang Alim atau Kaya

Oleh: Hendrik Mabohid*

Carilah dalam hidup ini ilmu dan harta, maka kamu akan menjadi pemimpin bagi manusia, karena manusia terdiri dari para intelek dan orang awam. Orang intelek akan menghormatimu karena ilmumu dan orang awam akan menghormatimu karena hartamu.” 

Ilmu selalu identik dengan pengetahuan sedangkan kaya identik dengan harta. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berpikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi, dengan kata lain ilmu terbentuk dari tiga cabang filsafat yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Wikipedia). Ilmu secara bebas dapat diartikan dengan pengetahuan yang spesifik, yang dari pengertian ini muncullah istilah ilmu Fikih atau cabang pengetahuan yang secara khusus membahas mengenai ibadah dan yang berhubungan dengannya. Selanjutnya muncul pula ilmu-ilmu lain yang merupakan cabang-cabang dari pengetahuan yang begitu luas. Adapun harta dapat diartikan sebagai barang (uang dsb.) yang menjadi kekayaan; barang milik seseorang (KBBI offline 1.5.1). Harta juga dapat diartikan dengan kepunyaan yang berupa benda-benda material seperti tanah, rumah, kendaraan, binatang ternak dan lain sebagainya.

Sebuah pilihan sulit 
Dalam hidup ini, sering sekali kita dihadapkan dengan fenomena pilihan antara menjadi orang alim atau menjadi orang kaya. Dalam pandangan Islam, menjadi orang alim adalah tuntutan bagi setiap hamba. Alim, jika diartikan dengan sederhana adalah orang yang menguasai ilmu-ilmu yang berkenaan dengan pokok-pokok agama Islam. Di sisi lain Islam juga sangat menganjurkan umatnya agar menjadi orang kaya. Sebenarnya tidak ditemukan teks secara tegas baik di dalam Al-Qur'an maupun hadis yang memerintahkan umat Islam agar menjadi orang kaya. Tetapi perintah mengenai zakat, haji, sedekah, hibah, wakaf, dan banyak lagi perintah dalam Islam yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang kaya. Sebagai contoh, haji merupakan perintah yang hanya dapat dilakukan oleh orang kaya. Di dalam perintah itu terdapat sebuah dispensasi bagi yang tidak mampu, untuk tidak melakukannya. “Dan adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”, (QS. 3: 97). 

Bagi penduduk Indonesia, saat ini yang mampu melaksanakan haji setidaknya harus membayar ONH sebesar tiga puluh juta rupiah. Dalam kondisi ekonomi Indonesia yang sangat tidak baik, jumlah sebesar di atas sangat berat kecuali bagi orang kaya. Begitu pula dengan zakat (walaupun yang dikeluarkan hanya 2,5 % saja) yang merupakan salah satu rukun Islam yang hanya diwajibkan kepada mereka yang kaya, yang memiliki simpanan emas dalam jumlah besar, yang memiliki binatang ternak dalam jumlah yang banyak dan yang memiliki lahan perkebunan dan hasil yang baik pula. Kenyataan-kenyataan di atas haruslah dimaknai dengan sebuah pemahaman yang positif, bahwa Islam pada dasarnya sangat menganjurkan umatnya untuk menjadi orang kaya agar dapat menyempurnakan rukun Islam. 
Dalam Al-Qur'an, harta secara tidak langsung disebut dengan karunia Allah (faḍlullāh) sebagaimana tergambar di dalam surah al-Jumu’ah ayat 10, artinya: “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” 

Rezeki dalam bentuk harta adalah karunia Allah yang mulia, maka tidak ada salahnya jika harta itu dicari selama jalan untuk meraihnya tidak melanggar syariat Allah. Hal ini menunjukkan, bahwa Islam merupakan agama paripurna. Tidak ada dikotomi antara ilmuwan dengan hartawan, karenanya kita tidak boleh hanya menjadi orang alim lalu pasrah menjadi orang miskin apalagi papa. Kita juga tidak boleh hanya menjadi orang kaya, apalagi menumpuk-numpuk harta lalu melupakan menuntut ilmu sehingga kita buta sama sekali tata cara bertuhan kepada Allah Swt. dan melalaikan tata cara beribadat kepada-Nya. 


Sebuah Fenomena 
Dalam kehidupan sosial, kita banyak mengamati di mana orang-orang seprofesi saling bergaul sesama mereka saja; para pengusaha bergaul dengan sesama pengusaha, para pegawai kantoran akan bergaul dengan sesama pegawai kantoran pula. Di sudut lain akan terlihat para pencuri bergaul dengan sesama pencuri, para pecandu narkoba berkumpul sesama mereka, dan demikianlah selanjutnya. Begitulah fakta hidup ini tanpa bisa dipungkiri, bahkan para ilmuwan dan rohaniawan tidak akan bisa terlepas dari lingkaran kenyataan ini. Maka kita akan melihat para ustaz yang berasal dari pesantren salaf akan bersosialisasi dengan sesama ustaz yang alumni pesantren salaf pula. Demikian juga yang berasal dari pesantren terpadu, pesantren modern, universitas luar negeri dan sebagainya. Selanjutnya dalam pergaulan tersebut akan selalu terbentuk suatu sistem kekerabatan dan kepangkatan atau penghormatan baik formal maupun tidak. 
Di kalangan para pengusaha; yang paling dihormati adalah orang paling kaya, di kalangan para pegawai;  yang paling dihormati adalah yang paling tinggi pangkat atau jabatannya, di kalangan petani; yang paling dihormati adalah yang paling luas tanahnya, di kalangan pencopet; yang paling dihormati adalah yang paling lincah cara bermainnya, di kalangan penceramah; yang paling dihormati adalah yang paling populer, di kalangan para hafiz Al-Qur'an; yang paling dihormati adalah yang paling banyak dan kuat hafalannya. 

Hidup yang penuh dengan fenomena ini, sangat menarik untuk diamati. Kenyataan menjadi orang yang dihormati bukanlah permintaan sebagian besar orang. Namun bila tiba saatnya seseorang itu dihormati, walaupun yang bersangkutan tidak menginginkannya, orang lain tetap akan menghormatinya. Dengan demikian bila kita ingin dihormati oleh orang awam maka jadilah orang kaya, karena orang awam pandangannya sangat sederhana dan cenderung material. Bila kita ingin dihormati kaum terpelajar maka jadilah orang alim, karena kaum terpelajar memiliki barometer sendiri dalam menghormati orang lain. 

Simbiosis mutualisme 
Sebuah fenomena logis didapatkan di tengah-tengah masyarakat, bahwa anak yang berasal dari keturunan hartawan cenderung akan menjadi orang kaya pula. Atau ada beberapa orang di antaranya yang beralih menjadi orang alim atau ilmuwan. Kondisi ini mudah dimaklumi, di mana sang anak akan lebih mudah melanjutkan pendidikan dengan dukungan fasilitas dari orang tuanya. Sejalan dengan itu, banyak pula ditemukan keturunan ulama akan menjadi ulama pula. Ini berkat bimbingan orang tuanya yang memang selalu menjaga perihal pendidikan anak-anaknya. Tetapi tidak sedikit pula di antara anak ulama malah beralih menjadi seorang pebisnis yang kaya raya. Hal ini menunjukkan bahwa antara ilmu (ālim) dan harta (kaya) bagaikan sekeping koin mata uang bersisi dua yang saling membutuhkan dan saling mendukung. 

Wallāhu a’lam 
*Disadur dari tulisan Hendrik Mabohid (Guru Pesantren Az-Zahrah, Bireuen, Aceh), dalam buku antologi: Logika Kemuliaan Hidup; Menjaga Tradisi Mewarisi Budaya, 2018.

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Tags :

bm
Created by: Admin

Media berbagi informasi dan pembelajaran seputar Pendidikan Islam (PEDI), Manajemen Pendidikan Islam (MPI), dan Lembaga Pendidikan Islam.

Posting Komentar

Ikuti Channel YouTube

Connect