Jumat, 06 Januari 2023

Belajar dan Sekolah (Lanjutan)

Belajar dari Ulama
Lanjutan dari... Belajar dan Sekolah

Saat membuka lembaran-lembaran buku al-Qira'ah ar-Rasyidah (al-Mutala'ah), maka saya temukan kembali tema tentang Ibnu Sina. Belajar dari Ibnu Sina[2] (Aviceina), nama lengkap beliau adalah Asy-Syaikh ar-Rais Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina yang dijuluki 'Canon of Medicine', Bapak Kedokteran. Ibnu Sina juga dikenal sebagai filosof, psikolog, pujangga, dan pendidik yang lahir di desa Ashfahan Bukhra Afganistan. Sejak umur 13 tahun ia mampu menguasai ilmu tafsir, fikih, ushuluddin, tasawuf, ilmu hukum, logika, fisika, kedokteran, filsafat, dan politik. 

Ibnu Sina pernah berkata, "Setiap saya menginginkan sesuatu dan tidak mendapat batasan pengertian yang benar dalam perbandingannya, saya senantiasa ke masjid melakukan salat untuk memohon kepada Tuhan hingga terbuka bagi saya persoalan itu dan memecahkannya dengan mudah. Saya pulang ke rumah meletakkan lampu di hadapan saya lalu membaca dan mengarang. Bila rasa kantuk dan letih sekali, maka saya pun minum hingga timbul lagi kesegaran dan saya teruskan membaca, tetapi jika kantuk tak terkalahkan, saya tidur dan biasanya saya bermimpi tentang persoalan yang belum selesai terpecahkan dalam pikiran saya. Kebanyakan persoalan itu biasanya menjadi terang masalahnya. Saya tetap menjalani pengabdian yang  sebaik-baiknya  kepada Tuhan."

Menurut beliau belajar harus mengarah pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang seperti pengembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti. Selain itu, dengan belajar seseorang mampu mempersiapkan dirinya agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi lain yang dimilikinya.

Jika membuka buku catatan al-Maḥfūẓāt kelas 2 dan 4, masih ditemukan kata-kata hikmah yang dikutip dari Imam Asy-Syafi'i di mana kita dapat banyak memetik pembelajaran  yang  sangat  berharga. Belajar dari Imam Asy-Syafi'i atau yang dikenal dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muttalibi al-Qurasyi lahir di Gaza-Palestina tahun 150 H./767 M, di mana pada usia 13 tahun beliau dikirim ibunya ke Madinah untuk berguru pada ulama besar saat itu. 

Dua tahun berikutnya ia pergi ke Irak dan juga pernah belajar di Makkah. Pernah juga belajar ke Yaman dan kemudian pindah ke Mesir (Fustat) dan di sana beliau wafat (tahun 204 H./820 M.) sebagai Syuhada' al-'Ilmi. Dalam sebuah sya'irnya beliau pernah berkata, "Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak dihidayahkan  bagi  pada  orang-orang  yang  bermaksiat."[3] Belajar dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan menurut syair tersebut harus dibarengi dengan kesucian jiwa dan raga dengan tidak bermaksiat kepada Sang Pemilik Ilmu.

Belajar dari Ibnu Rusyd (Averrous), yang buku Bidayah al-Mujtahid-nya saya pelajari saat duduk di kelas 5, merupakan sosok yang lahir di Cordova pada tahun 520 H./1128 M. Di negara-negara Eropa Latin beliau dikenal dengan 'Explainer/asy-Syarih'. Beliau adalah seorang yang jenius yang memiliki banyak  minat dan talenta. Beliau mendalami banyak ilmu seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat, ia juga dikenal sebagai komentator terbesar atas filsafat Aristoteles.

Disebabkan kecerdasannya, kemudian beliau diangkat menjadi Hakim Agung. Beliau tidak meninggalkan harta benda di akhir hayatnya melainkan ilmu dan tulisan dalam berbagai bidang seperti Filsafat, Ilmu Kalam, Falak, Fikih, Musik, Perbintangan, Tata Bahasa, Nahwu. Sekira 78 karya dihasilkannya, yang kini sejumlah karyanya tersimpan rapi di perpustakaan Escurial Madrid Spanyol. 

Tidak banyak yang mengetahui kalau Ibnu Rusyd pernah hidup dalam pembuangan di Lecena, Spanyol, karena dianggap murtad dan menghina kepala negara. Beliau Pernah juga dibuang ke Marako karena difitnah oleh seseorang, sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 595 H./1198 M. di Kota Marakis-Maroko. Jenazahnya kemudian dibawa ke Andalusia dan dimakamkan di sana.

Baca juga: Air itu Seharusnya Mengalir

Masih segar dalam ingatan saya pada guru pengampu pelajaran hadis Bulūg al-Marām min Adillāt al-Aḥkām, 'Dr. Syakir Abdul Majid', seorang Volunteer dari Universitas Al-Azhar Cairo dengan suaranya yang lantang dan membahana membuat para santri di kelas saya bahkan kelas sebelah kehilangan rasa kantuk yang biasanya menyapa kami menjelang siang. Jelas tertulis di sampul depan buku ini nama penyusunnya, beliau adalah Ibnu Hajar al-Asqalani (773 H./1372M.-852 H./1449 M.). Nama lengkapnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar.

Belajar dari Ibnu Hajar, di mana perjalanannya menimba ilmu, membawanya sampai ke berbagai tempat, mulai dari Mesir (tanah kelahirannya), Al-Haramain (Makkah dan Madinah), Damasskus, Baitul Maqdis dan di berbagai kota di Palestina, Shan'a dan beberapa kota di Yaman. Menurut murid utamanya Imam Asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga 'iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri di bawah pengasuhan Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) yang memberikan perhatian yang luar biasa.

Pada usia 5 tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal Al-Qur'an, dan beliau akhirnya dapat mengkhatamkan hafalan Al-Qur'an-nya ketika berumur 9 tahun. Ibnu Hajar sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab induk seperti al-'Umdah al-Ahkam karya 'Abd al-Ganiy al Maqdisiy, al-Alfiyah fī 'Ulūm al-Hadīṡ  karya guru beliau al-Hafizh al-'Iraqiy, dan lainnya.

Kegemarannya diawali dengan meneliti kitab-kitab sejarah, kemudian meneliti bidang sastra Arab. Selanjutnya beliau belajar Hadis, Fikih, Tafsir, sampai akhirnya Ibnu Hajar menjadi seorang ulama yang diberi gelar dengan al-Hafizh. Ilmunya matang dalam usia muda hingga mayoritas ulama di zaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar di Markaz 'Ilmiyah yang banyak di antaranya mengajar Tafsir di al-Madrasah al-Husainiyah dan al-Manshuriyah, mengajar Hadis di sekolah al-Babrisiyah, az-Zainiyah dan asy-Syaikhuniyah dan lainnya. 

Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah dan berjihad menyebarkan ilmunya dengan beragam sarana yang ada, juga menyibukkan diri dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga ia sakit yang menyebabkan beliau wafat tahun 852 H. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Bani Al- Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam asy-Syafi'i dengan Syaikh Muslim As- Silmi.

Ulama lainnya yang dapat dicantumkan dalam tulisan singkat ini adalah pengarang buku dan tokoh nasional di mana beberapa bukunya menjadi mata pelajaran yang umumnya dipelajari di beberapa pesantren modern. Dugaan saya, hampir seluruh santri juga  memiliki  karya besar beliau 'Kamus Bahasa Arab-Indonesia' yang selalu dijinjing sebagai pelengkap kamus al-Munjid fi al-A'lam saat belajar al-Qirā'ah ar-Rasyīdah atau al-Insyā' at-Taḥrīriy.

Belajar dari Frof. Dr. Mahmoed Joenoes atau yang lebih dikenal dengan Mahmud Yunus, lahir di Tanah Datar Minang Kabau 1899. Mahmud Yunus telah memperlihatkan minat terhadap ilmu agama sejak kecil di mana ia belajar Al-Qur'an dengan kakeknya dan khatam dalam usia tujuh tahun. Ia belajar setiap hari dari pagi sampai siang. Ia melewatkan waktunya sebagai pendidik dan pengajar. Sedikitnya 75 judul  buku  telah  disusunnya termasuk  beberapa  buku yang dipakai di pondok saya seperti al-Fiqh al-Wāḍiḥ, tiga jilid at-Tarbiyah wa at-Ta'līm, dan Kamus Bahasa Arab-Indonesia-nya yang menjadi  kamus  favorit  di pesantren saya. 

Mahmud Yunus memulai pengalaman belajarnya dengan mengajar di surau dan Madras School tempat di mana ia dulu mengikuti pendidikan. Pada 1923 ia mengambil kuliah di Kairo Mesir dan kembali ke kampung halamannya pada tahun 1931. Pernah menjabat sebagai pegawai Departemen Agama, menjabat sebagai Rektor pertama Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDA) di Jakarta yang selanjutnya menjadi UIN Syarif Hidayatullah, dan Rektor pertama IAIN Imam Bonjol. Mahmud Yunus adalah tokoh pembaharu pendidikan Islam yang pertama kali mempelopori masuknya pendidikan agama ke dalam kurikulum pendidikan umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Dialah di antara tokoh yang menekankan pentingnya mewujudkan akhlak yang mulia melalui lembaga pendidikan. Mahmud Yunus juga dikenal sebagai orang pertama yang berhasil mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam. Pada tahun 1982, Mahmud Yunus meninggal dunia.

Baca jugaNilai-nilai Maḥfūẓāt lainnya: Gila Belum Tentu Bodoh

Penutup 

Tulisan ini sedikit menyinggung tentang makna lain belajar dan ber-sekolah, namun tidak bermaksud untuk lebih mengunggulkan salah satu dari keduanya. Fokus tulisan ini adalah bagaimana kita memaknai belajar yang seyogyanya tidak dibatasi oleh usia, tempat, dan waktu tertentu. Belajar yang baik adalah dengan mengamalkannya sebagaimana yang saya ingat dalam pelajaran al-Maḥfūẓāt kelas 1 No. ke-20 dan no. ke-21, "Ta’allaman ṣagīran wa’mal bihi kabīran" (Belajarlah di saat kecil dan amalkan saat dewasa), dan "Al-‘ilmu bilā ‘amalin ka asy-syajari bilā ṡamarin" (Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tak berbuah).

Belajar  dari  para  ulama,  sungguh  menggugah  rasa dan membuat malu hati. Dengan keterbatasan biaya, media, fasilitas, transportasi, dan lainnya (jika dibandingkan dengan masa kini), namun semangat dan gairah belajar para ulama yang tersebut di atas tidak pernah terbatasi. Jarak tempuh yang jauh, kekurangan atau ketiadaan biaya, dan kesulitan lainnya bukanlah halangan untuk tetap belajar di mana dan dengan siapa pun.

Masih banyak lagi para tokoh muslim yang dapat dijadikan contoh teladan dalam belajar dan sangat layak untuk dikenalkan kembali kepada para pelajar sekarang, karena biografi dan autobiografi serta ketokohan mereka telah dilupakan bahkan ditinggalkan sehingga terkalahkan dengan popularitas pesepakbola dan artis-artis masa kini.

Belajar sebagaimana yang dipesankan oleh Ali ibn Abi Talib dalam catatan buku al-Maḥfūẓāt saya, kelas 1 No. 64 bermodalkan 6 syarat: (1) kecerdasan (żakā’) yang harus diyakini bahwa setiap individu adalah unik, tidak ada seorang anak pun yang dapat di-klaim 'Bodoh', (2) ketamakan (ḥirṣ) di dalam menimba ilmu apa pun dengan keyakinan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari Al-Qur'an, (3) kesungguhan (ijtihād); siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapat, (4) biaya (dirham); jangan bakhil untuk mengeluarkan biaya dalam menuntut ilmu, (5) bergaul dengan guru (ṣuḥbatu ustāż); akan memudahkan kita mendapat bimbingan, dan arahan, dan (6) waktu yang panjang (ṭūlu zamān); karena tidak ada istilah tua dalam belajar.

Keenam syarat di atas sepenuhnya dilakukan oleh para ulama kita dengan harus menyeberangi beberapa pulau bahkan negara, berguru dengan beberapa ulama, belajar siang-malam tanpa bosan dan mengamalkan apa yang telah dipelajari. Belajar, bagi para ulama adalah harus mengarah pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki dengan menekankan pentingnya mewujudkan akhlak yang mulia. Sehingga dengan belajar, seseorang mampu mempersiapkan dirinya untuk hidup di masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi lain yang dimilikinya.

Para ulama mempelajari varian ilmu pengetahuan dan menjaganya dengan menulis buku dan tidak melakukan maksiat karena keyakinan, bahwa ilmu adalah cahaya Allah (nūrullāh) yang tidak dapat dikuasai oleh orang-orang yang bermaksiat. Mereka mendistribusikan dan menyebarkan ilmunya di majelis-majelis  taklim dengan beragam sarana yang ada dan tidak meninggalkan harta benda di akhir hayatnya melainkan ilmu dan tulisan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Kita dan para pelajar muslim lain patut belajar dan mengidolakan para ulama di atas dan juga beberapa ulama lainnya yang kiranya masih dapat disebutkan dalam tulisan singkat ini seperti: a) Abu Raihan Al-Biruni yang banyak menyumbang keilmuan di bidang Matematika, Filsafat, Obat-obatan, b) Al-Khawarizmi (Alghorizm) Bapak ilmu Aljabar yang diajarkan di pelbagai sekolah di dunia, c) Ar-Razi (Razhes) yang dikenal sebagai dokter pertama dalam pengobatan ilmu jiwa, yaitu pengobatan yang dilakukan dengan memberi sugesti bagi penderita psikosomatis (gangguan emosi dan mental), d) Ibnu Awwan yang ahli dalam bidang pertanian, e) Al-Jahiz yang ahli dalam bidang biologi, khususnya bidang ilmu hewan, dan lain-lain yang sepertinya sudah tidak banyak dikenal oleh para pelajar muslim dan kurang dikenalkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam. Padahal, merekalah di antara para ulama dan tokoh-tokoh Islam lain yang juga andil memberi sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan. 

[1] Sebuah mata pelajaran yang dihafal-hafal, biasanya dikutip dari kata-kata bijak/hikmah para ulama atau pun hadis). Muqarrar li aṣ-ṣaff al-awwal bi Kulliyāt al-Mu'allimīn al-Islāmiyah. Ponorogo. Ma'had Dar as-Salam al-hadits Gontor.  

[2] Baca Husayn Fattani. (2011). Tawanan Benteng Lapis Tujuh (Novel Biografi Ibnu Sina). Jakarta. Penerbit Zaman.

[3] Pelajaran al-Mahfuzhat kelas 4 Ponpes Darularafah Raya judul pertama tentang "Fi Madh as-Safar".

*Disadur dari tulisan Agus Salim Salabi, dalam buku Antologi: Logika Kemuliaan Hidup; Menjaga Tradisi Mewarisi Budaya, 2018.

Sub YouTube Channel Ikuti Channel YouTube Rangkang Belajar untuk mendapatkan konten baru seputar Pendidikan:

Tags :

bm
Created by: Admin

Media berbagi informasi dan pembelajaran seputar Pendidikan Islam (PEDI), Manajemen Pendidikan Islam (MPI), dan Lembaga Pendidikan Islam.

Posting Komentar

Ikuti Channel YouTube

Connect