Kamis, 05 Januari 2023

Belajar dan Sekolah

Hisamuddin al-Wa'izhi, (almutawaffa: 99 H.) pernah berkata: "Tuntutlah ilmu dan duduklah di dalam majelis ilmu, tiada akan merugi sedikit pun orang yang bergaul dengan ulama." (al-Mahfuzhat)


'Sekolah' Versus Belajar

Sekali waktu seorang sahabat bertanya tentang tujuan saya melanjutkan kuliah pada sebuah Institut Agama Islam Negeri di Kabupaten Jember Jawa Timur. Dengan logat Medan dan sedikit bergurau dia bertanya: "Gak capek-capek kau kuliah? Tros, kau kuliah lagi mau sekolah atau mau belajar?" Pertanyaan yang sepintas remeh, namun membuat lidah tertahan untuk menjawab spontan. Ternyata, pertanyaan itu sangat mengganggu dan membuat saya berpikir keras serta berhati-hati untuk menemukan jawaban tentang 'sekolah' dan belajar yang ditanyakan sahabat saya.

'Sekolah' atau ber-sekolah (maksud sahabat saya) adalah suatu kegiatan menuntut ilmu pada sebuah lembaga pendidikan formal, di mana pada akhir kegiatan tersebut seseorang yang ber-sekolah akan memperoleh pengakuan yang biasanya dalam  bentuk ijazah ataupun sertifikat dan juga gelar. Sementara belajar, di mana pun dan kapan pun bisa dilakukan oleh masing-masing individu. Belajar merupakan kegiatan seseorang dalam menuntut ilmu pengetahuan tanpa harus berada di tempat atau ruang khusus serta tanpa harus terikat dengan jadwal. Di samping itu, belajar juga tidak memerlukan pengakuan maupun gelar.

Pertanyaan tentang 'sekolah' dan belajar yang tadinya adalah sebuah kelakar membuat saya tersadar akan pentingnya belajar dan bukan sekadar 'sekolah'. Itu pula kenapa sering diungkapkan dalam hafalan-hafalan (al-mahfuzhat)[1] saat saya mondok di Pesantren Darularafah dulu, "Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke lahad (Kelas 1, No. ke-10) dan "Tuntutlah ilmu walau ke negeri China (Kelas 1, No. ke-67). Belajar tidak harus di lingkungan terdekat atau di lingkungan tertentu saja, dan karenanya setiap individu jangan ragu untuk belajar meskipun tempat dan jarak yang akan ditempuh sangat jauh, apalagi jika di sana terdapat peradaban dan ilmu pengetahuan yang lebih maju. 

'Sekolah' dalam kesimpulan sederhana di atas, bisa saja dimaknai sebagai upaya belajar seseorang yang biasanya dilakukan di dalam sebuah ruang dengan jadwal dan kurikulum terencana, terstruktur serta waktu yang ditentukan. Dengan regulasi yang ada saat ber-sekolah menjadikan seseorang terbimbing dan terarah yang memudahkannya dalam pengaturan kegiatan. Ber-sekolah juga mengajarkan orang untuk fokus pada bidang pengetahuan tertentu sehingga diharapkan menjadi seorang yang ahli.

Namun terdapat pula pandangan lain dari ber-sekolah, di mana tidak semua orang mampu mengenyam pendidikan formal apalagi sampai kepada jenjang terakhir (strata tiga). Ber-sekolah dengan durasi yang telah ditetapkan lebih kurang 5-6 jam dalam sehari bagi sebagian orang akan membatasi pengetahuan dan kegiatan yang mereka inginkan, karena dianggap kurang memberi kesempatan dalam memilih apa yang ingin dipelajari dan kapan akan mempelajarinya. Dengan durasi yang sama, mungkin lebih banyak aktivitas yang dapat dilakukan seseorang untuk belajar; membaca, berdiskusi, menulis, mempraktikkan, dan lain-lain di luar ber-sekolah.

Baca juga: Nilai-nilai Maḥfūẓāt lainnya; "Motivasi Kehidupan; Maḥfūẓāt Memang Unik

Ber-sekolah kurang lebih mengikuti perintah atau menerima pembelajaran dengan tugas-tugas yang telah diatur oleh bel atau lonceng (sebagaimana pengalaman saya saat mondok dulu). Bangun tidur dibangunkan oleh lonceng, pergi ke kelas diingatkan lonceng, berolahraga, makan, belajar malam, dan tidur juga harus ikut aturan lonceng. Seseorang yang ber-sekolah biasanya belajar hal yang sama pada waktu dan cara yang sama, padahal kemampuan (skills) masing-masing orang berbeda sebagaimana yang ditegaskan dalam Alquran Surah al-Isra'/17: 84, Allah berfirman, "Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.  Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya." Masing-masing orang memiliki passion, minat, ketertarikan, kebutuhan, dan keahlian yang berbeda. Setiap orang memiliki pembawaan dan bakat yang Allah ciptakan sehingga antara satu individu dengan yang lainnya tidak sama.

Sementara belajar yang tentunya tidak menuntut adanya tempat dan waktu khusus, menjadikan kegiatan ini lebih fleksibel dan dapat dilakukan oleh semua kalangan. Belajar akan menuntut seseorang bisa menjadi kreatif yang dapat mengkomunikasikan ide-ide dan bekerjasama dengan orang lain. Belajar dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi apapun, baik di dalam kelas ataupun tidak. Di dalam kelas, seseorang dapat belajar bebagai macam ilmu pengetahuan yang terstruktur dengan bimbingan para guru. Sementara di luar kelas ia dapat banyak belajar tentang ayat-ayat kauniah ataupun peristiwa-peristiwa yang dirasakan dan dialami di sekitarnya.

Dalam keadaan suka karena sebuah keberhasilan atau kemenangan, seseorang bisa belajar arti sukur dan rendah hati. Dan dalam keadaan duka karena kehilangan sesuatu atau orang yang dicintai, ia bisa belajar sabar, tawakal, dan tegar. Bahkan, dalam menghadapi musibah atau menyaksikan musibah yang dialami orang lain, ia juga bisa belajar. Begitulah yang saya ingat dari al-mahfuzhat kelas 2, tema 'al-hikam wa al-amṡāl as-sa'īrah', "Musibah yang menimpa suatu kaum, bagi kaum yang lain adalah manfaat/dapat dijadikan pembelajaran."

Dengan ber-sekolah formal, seseorang akan dikontrol oleh sistem secara ketat dalam melaksanakan aktivitasnya, sementara dengan belajar ia dapat melakukan sesuatu dan menentukan waktunya sendiri. Setiap orang yang ber-sekolah akan diukur seberapa banyak pengetahuannya yang bertahan dengan menjawab soal ujian. Ujian menjadi satu-satunya alat ukur keberhasilan ber-sekolah yang dideskripsikan dalam bentuk nilai-nilai berupa angka. Dengan nilai itulah seseorang yang ber-sekolah akan dihargai atau tidak. Sementara belajar, ukuran keberhasilannya adalah seberapa besar ia memanfaatkan umurnya untuk berbuat kebaikan dan seberapa banyak kebermanfaatannya bagi orang lain. Dua hal tersebut mengingatkan saya lagi pada al-mahfuzhat terdahulu yang dikutip dari dua hadis berikut:

Abu Hurairah meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian aku beritahu tentang orang yang terbaik di antara kalian?” Para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Kata beliau, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling panjang umurnya dan paling baik amalnya (HR. Ahmad)" dan "Sebaik-baiknya  manusia  adalah  yang  paling  bermanfaat bagi orang lain" (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’).

Berlanjut ke... "Belajar dari Ulama"

Tags :

bm
Created by: Admin

Media berbagi informasi dan pembelajaran seputar Pendidikan Islam (PEDI), Manajemen Pendidikan Islam (MPI), dan Lembaga Pendidikan Islam.

Posting Komentar

Ikuti Channel YouTube

Connect