Selasa, 19 Januari 2021

Belajar dan Sekolah

Hisamuddin al-Wa'izhi, (almutawaffa: 99 H.) pernah berkata: "Tuntutlah ilmu dan duduklah di dalam majelis ilmu, tiada akan merugi sedikit pun orang yang bergaul dengan ulama." (al-Mahfuzhat)


'Sekolah' Versus Belajar

Sekali waktu seorang sahabat bertanya tentang tujuan saya melanjutkan kuliah pada sebuah Institut Agama Islam Negeri di Kabupaten Jember Jawa Timur. Dengan logat Medan dan sedikit bergurau dia bertanya: "Gak capek-capek kau kuliah? Tros, kau kuliah lagi mau sekolah atau mau belajar?" Pertanyaan yang sepintas remeh, namun membuat lidah tertahan untuk menjawab spontan. Ternyata, pertanyaan itu sangat mengganggu dan membuat saya berpikir keras serta berhati-hati untuk menemukan jawaban tentang 'sekolah' dan belajar yang ditanyakan sahabat saya.

'Sekolah' atau ber-sekolah (maksud sahabat saya) adalah suatu kegiatan menuntut ilmu pada sebuah lembaga pendidikan formal, di mana pada akhir kegiatan tersebut seseorang yang ber-sekolah akan memperoleh pengakuan yang biasanya dalam  bentuk ijazah ataupun sertifikat dan juga gelar. Sementara belajar, di mana pun dan kapan pun bisa dilakukan oleh masing-masing individu. Belajar merupakan kegiatan seseorang dalam menuntut ilmu pengetahuan tanpa harus berada di tempat atau ruang khusus serta tanpa harus terikat dengan jadwal. Di samping itu, belajar juga tidak memerlukan pengakuan maupun gelar.

Pertanyaan tentang 'sekolah' dan belajar yang tadinya adalah sebuah kelakar membuat saya tersadar akan pentingnya belajar dan bukan sekadar 'sekolah'. Itu pula kenapa sering diungkapkan dalam hafalan-hafalan (al-mahfuzhat)[1] saat saya mondok di Pesantren Darularafah dulu, "Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke lahad (Kelas 1, No. ke-10) dan "Tuntutlah ilmu walau ke negeri China (Kelas 1, No. ke-67). Belajar tidak harus di lingkungan terdekat atau di lingkungan tertentu saja, dan karenanya setiap individu jangan ragu untuk belajar meskipun tempat dan jarak yang akan ditempuh sangat jauh, apalagi jika di sana terdapat peradaban dan ilmu pengetahuan yang lebih maju. 

'Sekolah' dalam kesimpulan sederhana di atas, bisa saja dimaknai sebagai upaya belajar seseorang yang biasanya dilakukan di dalam sebuah ruang dengan jadwal dan kurikulum terencana, terstruktur serta waktu yang ditentukan. Dengan regulasi yang ada saat ber-sekolah menjadikan seseorang terbimbing dan terarah yang memudahkannya dalam pengaturan kegiatan. Ber-sekolah juga mengajarkan orang untuk fokus pada bidang pengetahuan tertentu sehingga diharapkan menjadi seorang yang ahli.

Namun terdapat pula pandangan lain dari ber-sekolah, di mana tidak semua orang mampu mengenyam pendidikan formal apalagi sampai kepada jenjang terakhir (strata tiga). Ber-sekolah dengan durasi yang telah ditetapkan lebih kurang 5-6 jam dalam sehari bagi sebagian orang akan membatasi pengetahuan dan kegiatan yang mereka inginkan, karena dianggap kurang memberi kesempatan dalam memilih apa yang ingin dipelajari dan kapan akan mempelajarinya. Dengan durasi yang sama, mungkin lebih banyak aktivitas yang dapat dilakukan seseorang untuk belajar; membaca, berdiskusi, menulis, mempraktikkan, dan lain-lain di luar ber-sekolah.

Ber-sekolah kurang lebih mengikuti perintah atau menerima pembelajaran dengan tugas-tugas yang telah diatur oleh bel atau lonceng (sebagaimana pengalaman saya saat mondok dulu). Bangun tidur dibangunkan oleh lonceng, pergi ke kelas diingatkan lonceng, berolahraga, makan, belajar malam, dan tidur juga harus ikut aturan lonceng. Seseorang yang ber-sekolah biasanya belajar hal yang sama pada waktu dan cara yang sama, padahal kemampuan (skills) masing-masing orang berbeda sebagaimana yang ditegaskan dalam Alquran Surah al-Isr'/17 ayat 84, Allah berfirman, "Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.  Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya." Masing-masing orang memiliki passion, minat, ketertarikan, kebutuhan, dan keahlian yang berbeda. Setiap orang memiliki pembawaan dan bakat yang Allah ciptakan sehingga antara satu individu dengan yang lainnya tidak sama.

Sementara belajar yang tentunya tidak menuntut adanya tempat dan waktu khusus, menjadikan kegiatan ini lebih fleksibel dan dapat dilakukan oleh semua kalangan. Belajar akan menuntut seseorang bisa menjadi kreatif yang dapat mengkomunikasikan ide-ide dan bekerjasama dengan orang lain. Belajar dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi apapun, baik di dalam kelas ataupun tidak. Di dalam kelas, seseorang dapat belajar bebagai macam ilmu pengetahuan yang terstruktur dengan bimbingan para guru. Sementara di luar kelas ia dapat banyak belajar tentang ayat-ayat kauniah ataupun peristiwa-peristiwa yang dirasakan dan dialami di sekitarnya.

Dalam keadaan suka karena sebuah keberhasilan atau kemenangan, seseorang bisa belajar arti sukur dan rendah hati. Dan dalam keadaan duka karena kehilangan sesuatu atau orang yang dicintai, ia bisa belajar sabar, tawakal, dan tegar. Bahkan, dalam menghadapi musibah atau menyaksikan musibah yang dialami orang lain, ia juga bisa belajar. Begitulah yang saya ingat dari al-mahfuzhat kelas 2, tema 'al-hikam wa al-amtsal as-sa'irah', "Musibah yang menimpa suatu kaum, bagi kaum yang lain adalah manfaat/dapat dijadikan pembelajaran."

Dengan ber-sekolah formal, seseorang akan dikontrol oleh sistem secara ketat dalam melaksanakan aktivitasnya, sementara dengan belajar ia dapat melakukan sesuatu dan menentukan waktunya sendiri. Setiap orang yang ber-sekolah akan diukur seberapa banyak pengetahuannya yang bertahan dengan menjawab soal ujian. Ujian menjadi satu-satunya alat ukur keberhasilan ber-sekolah yang dideskripsikan dalam bentuk nilai-nilai berupa angka. Dengan nilai itulah seseorang yang ber-sekolah akan dihargai atau tidak. Sementara belajar, ukuran keberhasilannya adalah seberapa besar ia memanfaatkan umurnya untuk berbuat kebaikan dan seberapa banyak kebermanfaatannya bagi orang lain. Dua hal tersebut mengingatkan saya lagi pada al-mahfuzhat terdahulu yang dikutip dari dua hadis berikut:

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian aku beritahu tentang orang yang terbaik di antara kalian?” Para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Kata beliau, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling panjang umurnya dan paling baik amalnya.” (HR. Ahmad)

"Sebaik-baiknya  manusia  adalah  yang  paling  bermanfaat bagi orang lain." (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’)

Baca juga: Nilai-nilai Maḥfūẓāt lainnya; "Motivasi Kehidupan; Maḥfūẓāt Memang Unik

Belajar dari Ulama

Saat membuka lembaran-lembaran buku al-Qira'ah ar-Rasyidah (al-Mutala'ah), maka saya temukan kembali tema tentang Ibnu Sina. Belajar dari Ibnu Sina[2] (Aviceina), nama lengkap beliau adalah Asy-Syaikh ar-Rais Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina yang dijuluki 'Canon of Medicine', Bapak Kedokteran. Ibnu Sina juga dikenal sebagai filosof, psikolog, pujangga, dan pendidik yang lahir di desa Ashfahan Bukhra Afganistan. Sejak umur 13 tahun ia mampu menguasai ilmu tafsir, fikih, ushuluddin, tasawuf, ilmu hukum, logika, fisika, kedokteran, filsafat, dan politik. 

Ibnu Sina pernah berkata, "Setiap saya menginginkan sesuatu dan tidak mendapat batasan pengertian yang benar dalam perbandingannya, saya senantiasa ke masjid melakukan salat untuk memohon kepada Tuhan hingga terbuka bagi saya persoalan itu dan memecahkannya dengan mudah. Saya pulang ke rumah meletakkan lampu di hadapan saya lalu membaca dan mengarang. Bila rasa kantuk dan letih sekali, maka saya pun minum hingga timbul lagi kesegaran dan saya teruskan membaca, tetapi jika kantuk tak terkalahkan, saya tidur dan biasanya saya bermimpi tentang persoalan yang belum selesai terpecahkan dalam pikiran saya. Kebanyakan persoalan itu biasanya menjadi terang masalahnya. Saya tetap menjalani pengabdian yang  sebaik-baiknya  kepada Tuhan."

Menurut beliau belajar harus mengarah pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang seperti pengembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti. Selain itu, dengan belajar seseorang mampu mempersiapkan dirinya agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi lain yang dimilikinya.

Jika membuka buku catatan al-mahfuzhat kelas 2 dan 4, masih ditemukan kata-kata hikmah yang dikutip dari Imam Asy-Syafi'i di mana kita dapat banyak memetik pembelajaran  yang  sangat  berharga. Belajar dari Imam Asy-Syafi'i atau yang dikenal dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muttalibi al-Qurasyi lahir di Gaza-Palestina tahun 150 H./767 M, di mana pada usia 13 tahun beliau dikirim ibunya ke Madinah untuk berguru pada ulama besar saat itu. Dua tahun berikutnya ia pergi ke Irak dan juga pernah belajar di Makkah. Pernah juga belajar ke Yaman dan kemudian pindah ke Mesir (Fustat) dan di sana beliau wafat (tahun 204 H./820 M.) sebagai Syuhada' al-'Ilmi. Dalam sebuah sya'irnya beliau pernah berkata, "Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak dihidayahkan  bagi  pada  orang-orang  yang  bermaksiat."[3] Belajar dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan menurut syair tersebut harus dibarengi dengan kesucian jiwa dan raga dengan tidak bermaksiat kepada Sang Pemilik Ilmu.

Belajar dari Ibnu Rusyd (Averrous), yang buku Bidayah al-Mujtahid-nya saya pelajari saat duduk di kelas 5, merupakan sosok yang lahir di Cordova pada tahun 520 H./1128 M. Di negara-negara Eropa Latin beliau dikenal dengan 'Explainer/asy-Syarih'. Beliau adalah seorang yang jenius yang memiliki banyak  minat dan talenta. Beliau mendalami banyak ilmu seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat, ia juga dikenal sebagai komentator terbesar atas filsafat Aristoteles.

Disebabkan kecerdasannya, kemudian beliau diangkat menjadi Hakim Agung. Beliau tidak meninggalkan harta benda di akhir hayatnya melainkan ilmu dan tulisan dalam berbagai bidang seperti Filsafat, Ilmu Kalam, Falak, Fikih, Musik, Perbintangan, Tata Bahasa, Nahwu. Sekitar 78 karya dihasilkannya, yang kini sejumlah karyanya tersimpan rapi di perpustakaan Escurial Madrid Spanyol. Tidak banyak yang mengetahui kalau Ibnu Rusyd pernah hidup dalam pembuangan di Lecena, Spanyol, karena dianggap murtad dan menghina kepala negara. Beliau Pernah juga dibuang ke Marako karena difitnah oleh seseorang, sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 595 H./1198 M. di Kota Marakis-Maroko. Jenazahnya kemudian dibawa ke Andalusia dan dimakamkan di sana.

Masih segar dalam ingatan saya pada guru pengampu pelajaran hadis Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, 'Dr. Syakir Abdul Majid', seorang volunteer dari Universitas Al-Azhar Cairo dengan suaranya yang lantang dan membahana membuat para santri di kelas saya bahkan kelas sebelah kehilangan rasa kantuk yang biasanya menyapa kami menjelang siang. Jelas tertulis di sampul depan buku ini nama penyusunnya, beliau adalah Ibnu Hajar al-Asqalani (773 H./1372M.-852 H./1449 M.). Nama lengkapnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar.

Belajar dari Ibnu Hajar, di mana perjalanannya menimba ilmu, membawanya sampai ke berbagai tempat, mulai dari Mesir (tanah kelahirannya), Al-Haramain (Makkah dan Madinah), Damasskus, Baitul Maqdis dan di berbagai kota di Palestina, Shan'a dan beberapa kota di Yaman. Menurut murid utamanya Imam Asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga 'iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri di bawah pengasuhan Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) yang memberikan perhatian yang luar biasa.

Pada usia 5 tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal Alquran, dan beliau akhirnya dapat mengkhatamkan hafalan Alqurannya ketika berumur 9 tahun. Ibnu Hajar sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu,  hingga ia hafal beberapa kitab induk seperti al-'Umdah al-Ahkam karya 'Abd al-Ganiy al Maqdisiy, al-Alfiyah fi 'Ulum al-Hadits  karya guru beliau Al-hafizh al-'Iraqiy, dan lainnya.

Kegemarannya diawali dengan meneliti kitab-kitab sejarah, kemudian meneliti bidang sastra Arab. Selanjutnya beliau belajar Hadis, Fikih, Tafsir, sampai akhirnya Ibnu Hajar menjadi seorang ulama yang diberi gelar dengan al-Hafizh. Ilmunya matang dalam usia muda hingga mayoritas ulama di zaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar di Markaz 'Ilmiyah yang banyak di antaranya mengajar Tafsir di al-Madrasah al-Husainiyah dan al-Manshuriyah, mengajar Hadis di sekolah al-Babrisiyah, az-Zainiyah dan asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah dan berjihad menyebarkan ilmunya dengan beragam sarana yang ada, juga menyibukkan diri dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga ia sakit yang menyebabkan beliau wafat tahun 852 H. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Bani Al- Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam asy-Syafi'i dengan Syaikh Muslim As- Silmi.

Ulama lainnya yang dapat dicantumkan dalam tulisan singkat ini adalah pengarang buku dan tokoh nasional di mana beberapa bukunya menjadi mata pelajaran yang umumnya dipelajari di beberapa pesantren modern. Dugaan saya, hampir seluruh santri juga  memiliki  karya besar beliau 'Kamus Bahasa Arab-Indonesia' yang selalu dijinjing sebagai pelengkap kamus al-Munjid fi al-A'lam saat belajar al-Qira'ah ar-Rasyidah atau al-Insya' at-Tahririy.

Belajar dari Frof. Dr. Mahmoed Joenoes atau yang lebih dikenal dengan Mahmud Yunus, lahir di Tanah Datar Minang Kabau 1899. Mahmud Yunus telah memperlihatkan minat terhadap ilmu agama sejak kecil di mana ia belajar Al-Qur'an dengan kakeknya dan khatam dalam usia tujuh tahun. Ia belajar setiap hari dari pagi sampai siang. Ia melewatkan waktunya sebagai pendidik dan pengajar. Sedikitnya 75 judul  buku  telah  disusunnya termasuk  beberapa  buku yang dipakai di pondok saya seperti al-Fiqh al-Wadhih, tiga jilid at-Tarbiyah wa at-Ta'lim, dan Kamus Bahasa Arab-Indonesia-nya yang menjadi  kamus  favorit  di  pesantren saya. Yunus memulai pengalaman belajarnya dengan mengajar di surau dan Madras School tempat di mana ia dulu mengikuti pendidikan. Pada 1923 ia mengambil kuliah di Kairo Mesir dan kembali ke kampung halamannya pada tahun 1931. Pernah menjabat sebagai pegawai Departemen Agama, menjabat sebagai Rektor pertama Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDA) di Jakarta yang selanjutnya menjadi UIN Syarif Hidayatullah, dan Rektor pertama IAIN Imam Bonjol. Mahmud Yunus adalah tokoh pembaharu pendidikan Islam yang pertama kali mempelopori masuknya pendidikan agama ke dalam kurikulum pendidikan umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Dialah di antara tokoh yang menekankan pentingnya mewujudkan akhlak yang mulia melalui lembaga pendidikan. Mahmud Yunus juga dikenal sebagai orang pertama yang berhasil mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam. Sepanjang hidupnya, Mahmud menulis tak kurang dari 43 buku. Pada tahun 1982, Mahmud Yunus meninggal dunia.

Baca juga: Nilai-nilai Maḥfūẓāt lainnya: Gila Belum Tentu Bodoh

Penutup 

Tulisan ini sedikit menyinggung tentang makna lain belajar dan ber-sekolah, namun tidak bermaksud untuk lebih mengunggulkan salah satu dari keduanya. Fokus tulisan ini adalah bagaimana kita memaknai belajar yang seyogyanya tidak dibatasi oleh usia, tempat, dan waktu tertentu. Belajar yang baik adalah dengan mengamalkannya sebagaimana yang saya ingat dalam lainnya al- mahfuzat kelas 1 No. ke-20 dan no. ke-21, "Belajarlah di saat kecil dan amalkan saat dewasa," dan "Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tak berbuah."

Belajar  dari  para  ulama,  sungguh  menggugah  rasa dan membuat malu hati. Dengan keterbatasan biaya, media, fasilitas, transportasi, dan lainnya (jika dibandingkan dengan masa kini), namun semangat dan gairah belajar para ulama yang tersebut di atas tidak pernah terbatasi. Jarak tempuh yang jauh, kekurangan atau ketiadaan biaya, dan kesulitan lainnya bukanlah halangan untuk tetap belajar di mana dan dengan siapa pun.

Masih banyak lagi para tokoh muslim yang dapat dijadikan contoh teladan dalam belajar dan sangat layak untuk dikenalkan kembali kepada para pelajar sekarang, karena biografi dan autobiografi serta ketokohan mereka telah dilupakan bahkan ditinggalkan sehingga terkalahkan dengan popularitas pesepakbola dan artis-artis masa kini.

Belajar sebagaimana yang dipesankan oleh Ali ibn Abi Talib dalam catatan buku al-Mahfuzhat saya, kelas 1 No. 64 bermodalkan 6 syarat: (1) kecerdasan (dzaka') yang harus diyakini bahwa setiap individu adalah unik, tidak ada seorang anak pun yang dapat di-klaim 'Bodoh', (2) ketamakan (hirsh) di dalam menimba ilmu apa pun dengan keyakinan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari Al-Qur'an, (3) kesungguhan (ijtihad); siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapat, (4) biaya (dirham); jangan bakhil untuk mengeluarkan biaya dalam menuntut ilmu, (5) bergaul dengan guru (suhbatu ustadz); akan memudahkan kita mendapat bimbingan, dan arahan, dan (6) waktu yang panjang (thulu zaman); karena tidak ada istilah tua dalam belajar.

Keenam syarat di atas sepenuhnya dilakukan oleh para ulama kita dengan harus menyebrangi beberapa pulau bahkan negara, berguru dengan beberapa ulama, belajar siang-malam tanpa bosan dan mengamalkan apa yang telah dipelajari. Belajar, bagi para ulama adalah harus mengarah pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki dengan menekankan pentingnya mewujudkan akhlak yang mulia. Sehingga dengan belajar, seseorang mampu mempersiapkan dirinya untuk hidup di masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi lain yang dimilikinya.

Para ulama mempelajari varian ilmu pengetahuan dan menjaganya dengan menulis buku dan tidak melakukan maksiat karena keyakinan, bahwa ilmu adalah cahaya Allah (nurullah) yang tidak dapat dikuasai oleh orang-orang yang bermaksiat. Mereka mendistribusikan dan menyebarkan ilmunya di majelis-majelis  taklim dengan beragam sarana yang ada dan tidak meninggalkan harta benda di akhir hayatnya melainkan ilmu dan tulisan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Kita dan para pelajar muslim lain patut belajar dan mengidolakan para ulama di atas dan juga beberapa ulama lainnya yang kiranya masih dapat disebutkan dalam tulisan singkat ini seperti: a) Abu Raihan Al-Biruni yang banyak menyumbang keilmuan di bidang Matematika, Filsafat, Obat-obatan, b) Al-Khawarizmi (Alghorizm) Bapak ilmu Aljabar yang diajarkan di pelbagai sekolah di dunia, c) Ar-Razi (Razhes) yang dikenal sebagai dokter pertama dalam pengobatan ilmu jiwa, yaitu pengobatan yang dilakukan dengan memberi sugesti bagi penderita psikosomatis (gangguan emosi dan mental), d) Ibnu Awwan yang ahli dalam bidang pertanian, e) Al-Jahiz yang ahli dalam bidang biologi, khususnya bidang ilmu hewan, dan lain-lain yang sepertinya sudah tidak banyak dikenal oleh para pelajar muslim dan kurang dikenalkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam. Padahal, merekalah di antara para ulama dan tokoh-tokoh Islam lain yang juga andil memberi sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan. 

[1] Sebuah mata pelajaran yang dihafal-hafal, biasanya dikutip dari kata-kata bijak/hikmah para ulama atau pun hadis). Muqarrar li ash-Shaff al-awwal bi Kulliyat al-Mu'allimin al-Islamiyah. Ponorogo. Ma'had Dar as-Salam al-hadits Gontor.  

[2] Baca Husayn Fattani. (2011). Tawanan Benteng Lapis Tujuh (Novel Biografi Ibnu Sina). Jakarta. Penerbit Zaman.

[3] Pelajaran al-Mahfuzhat kelas 4 Ponpes Darularafah judul pertama tentang "Fi Madh as-Safar".

*Disadur dari tulisan Agus Salim Salabi, dalam buku Antologi: Logika Kemuliaan Hidup; Menjaga Tradisi Mewarisi Budaya, 2018.

Tags :

bm
Created by: Admin

Media berbagi informasi dan pembelajaran seputar Pendidikan Islam (PEDI), Manajemen Pendidikan Islam (MPI), dan Lembaga Pendidikan Islam.

Posting Komentar

Ikuti Channel YouTube

Connect